Ikan-ikan yang berlari

Aku ingin menulis puisi tentang masa depan kita,
mengajarimu pergi atau kembali
sebuah tirakat perihal ziarah atau rumah

di ruang tamu, kita berdiri
menatap aquarium yang tetap sepi
ikan-ikan menetes dan berjatuhan dari matamu

"tetaplah seperti ini," bisikmu
"ikan-ikan ini akan hidup atau mati atau mungkin menelusup ke bola-bola matamu"

sepasang bocah dari masalalu
lahir dari rak-rak album foto yang lembab
mereka yang hidup berbahagia
bersenang-senang dan bertengkar dengan bahagia

karena itu, sekali waktu aku ingin berhenti menulis puisi
mamadamkan lampu
duduk dengan sederhana
menatapmu biasa saja
dan membiarkan ikan-ikan dari mataku menetes,
berlompatan,
merenangi gelas-gelas kopi kita

Perempuan Yang Disembunyikan

Sebab rahimku mewujudkan semua mimpi-mimpi burukmu. sementara ramalanmu pagi ini bernas tentang semesta yang begitu mengharukan, pipiku menyemburkan padamu lebih banyak tamasya ke dalam kelenjar air mata.

barangkali kamu masih merindukan wangi tubuhku.
apa kamu masih tak suka tidur?

sebab kini ia terlalu rakus mempertemukan kita di sebuah meja makan yang menyajikan sepotong waktu dan potret pasar malam. denting-denting sendok dan pisau di meja makan yang menyisakan rasa lapar dan mabuk ruang. aku lebih suka muntah di waktu subuh. sebab baunya akan kamu bawa sampai matahari begitu tinggi dan kamu berhak mengutuki ujung-ujung jari kaki yang memelintir arah mata anginmu untuk berbalik tanpa suara. ingatan tentangmu yang merangkum dunia dalam sebuah kecupan yang menggigilkan.

di taman itu, wangi puisi dan gerimis masa lalumu yang amis masih menguap di rerumputan. ciuman pertama tidak melulu mendebarkan, hanya rekaman perasaan yang merenggut lebih banyak kebebasan. sebab masing-masing dari kita telah jatuh cinta pada kebebasan yang serupa; kita merayakan sebuah perpisahan! aku memeluk laki-laki yang lain, dan kamu memberi kecupan perempuan yang lain: dan masing-masing kita akan merayakannya dengan sebuah pesta kembang api di halaman terakhir buku puisi yang kau pinjamkan.
lucunya, rahimku terus menyemburkan kemarahan.

adakah aku berhak mencuri lebih banyak pelukan di waktu malam pada punggung laki-laki yang menyeduhkanku kopi di waktu pagi? barangkali aku tetap serupa ujung sumbu letupan yang terus direkatkan dalam genggaman tanpa perlu mereka melihat bagaimana kita berikatan. sebagaimana kita pernah berjalan beriringan, barangkali aku memang akan terus menjadi perempuan yang disembunyikan.
Kamu yang ingin menjadi pesulap: menghilang tanpa suara bahkan detak dengan aromamu tak mampu ku baca.
Rahimku telah menyemburkan terlalu banyak kemarahan untuk sebuah gagasan tentang kasih sayang

PEREMPUAN, BUKAN SEKEDAR DAGING

Buat saya seks itu sakral,

Dan sekarang tanyakan bagaimana relasinya hingga seorang laki-laki (ingin) menidurimu?

Does your significant other have sex with you, wiith “you” as a complete human-being or “you” as a mere object of his/her fantasies?
-
Seorang teman pernah bertanya kenapa sekarang saya begitu terbuka berbicara soal seks. Jawabannya sederhana: sebab saya paham bahwa seks yang sehat tak harus ditabukan. Penabuan terhadap seks sama dengan pembungkaman pemahaman. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman akan seks adalah perbudakan. Apatisme sekaligus arogansi yang laten melanggengkan perkosaan, pelanggaran hak manusia yang asasi.

Barangkali demikian maksud dari jargon anti seks-bebas. Buat saya makna dari jargon tersebut seks yang tidak bebas, tidak bebas sebab setiap orang dijustifikasi untuk tidak tau apa-apa tentang seks, tentang tubuhnya, tentang kelaminnya—tentang haknya sebagai manusia yang utuh; dan sebagaimana masyarakat patriarki ini berkembang: perempuan akhirnya harus menjadi kerbau yang kemudian disetir oleh konstruksi sosial untuk terus menurut apa yang dihasrati sesuai dengan yang laki-laki inginkan. Sebab semakin banyak laki-laki yang “berhasil” meniduri kekasihnya/ teman perempuannya, ia disebut jantan; dan perempuan yang ditiduri oleh kekasih / teman lelakinya ia sebut pelacur, sundal, perek, jablay dan rentetan diksi yang begitu kreatif (tapi sakit jiwa) yang diciptakan oleh masyarakat yang sinting ini. Seks menjadi tak lebih dari sekedar proses penaklukan,

Masyarakat mengkonstruksi perempuan menjadi tak lebih dari sekedar daging dan lubang untuk memuat segala hasrat laki-laki, bukan menghadirkan perempuan sebagai perempuan yang utuh. Pada poin ini ingin sekali saya katakana bahwa : bisakah kita bilang bahwa lelaki yang demikian tak lebih dari sekedar daging hewani tak berotak yang terjebak di pangkal paha? Kenapa saya bilang demikian karena kelamin adalah otak kedua manusia; darinya timbul keberadaban atau kebiadaban. Dan kesedihan adalah menyaksikan banyak perempuan menerima saja konstruksi sosial itu kepada dirinya sendiri tanpa berani mempertanyakan pertanggungjawaban humanis di baliknya.


Saya pernah membaca twit penulis kesukaan saya, ayu utami:
“Seni untuk seni? Boleh. Tapi saya bukan tipe yang melakukanya. Cukuplah seks untuk seks.. Lho justru karena seks untuk seks, maka dia secukupnya saja, tidak berlebihan”

Saya pikir tidak. Seks tidak cukup hanya untuk seks. Sebab praktek seni hanya untuk seni, ia akan menjadi begitu kering. Ia menjadi eksistensi yang begitu miskin esensi.
Saya jatuh cinta pada manusia, dalam perjalanan saya hingga sekarang saya percaya bahwa esesnsi dari eksistensi diri saya sebagai manusia paling banyak berasal dari tanggung jawab saya untuk menghadirkan eksistensi orang lain di sekeliling saya secara menyeluruh: percakapan, pemikiran, kebiasaan, hingga kelalaian adalah unsur-unsur yang begittu unik. Kesemuanya membentuk upaya saya dalam memahami dan menerima (menghadirkan menyeluruh)  keberadaan manusia yang jalan hidupnya dipertemukan dengan jalan hidup saya..

Relasi unsur-unsur pembentuk ke-diri-an manusia yang metafisis itu menjadi begitu intim dengan sentuhan-sentuhan: jabat tangan, rangkulan, pelukan, hingga ciuman. Karena nya, hubungan seks adalah momen yang sakral: sebab didalamnya dengan segenap perangkat kemanusiaan kita (kesadaran, perasaan, kehendak, kebebasan, tanggung jawab yang mengikutinya) kita menghadirkan eksistensi orang lain secara menyeluruh ke dalam diri kita dalam tahap yang paling tinggi, paling intim, paling istimewa. Oleh karenanya ia disebut bersetubuh, setubuh-satu tubu. Yang idea dari rasio dan akal melebur dalam penyatuan medium fisik materil untuk kepuasan yang ( mungkin ini berlebihan) romantis. Ia menjadi begitu “spiritual”

Oleh karenanya, satu-satunya yang tidak bermoral dari seks adalah seks yang terjadi tanpa adanya konsensus antar para individu pelakunya; sebab jika salah satu dari individu  yang melakukan seks itu berada dalam momen seks dengan tidak dalam keadaan kesadaran, bukan dengan kehendaknya, bukan dengan kebebasan dan kesadaran tanggung jawabnya, ia telah diperlakukan bukan sebagai manusia oleh si individu. Hal ini menjawab mengapa berita—berita tentang perkosaan dan segala jenis pelecehan dan kekerasan seksual membuat miris hati saya sebab praktik-praktik ketidakmanusiaan menyakitkan hati sampai ke tulang. Ini bukan soal keperawanan yang direnggut, tapi penghargaan diri sebagai seorang manusia utuh yang tak diindahkan sama sekali. Pelaku perkosaan adalah daging tak berhati dan tak lebih dari itu, sebab terhadap kelaminnya ia hanya berkiblat pada insting seksualnya. Akal – budi nya telah ia matikan.

Karena itu saya percaya, seks tidak bebas nilai
Dan ini hanya pendapat saya saja, sebab orang seharusnya bebas (bebas sebab ia bertanggung jawab sebab ia sadar dan paham apa yang menjadi pilihannya itu) memiliki pandangan tentang seks sebagai manusia, selama pilihannya terhadap seks mampu memanusiakan manusia lainnya..
Sebab aktivitas seks yang melahirkan manusia ke bumi ini telah terlalu banyak dijadikan dalih untuk tak memanusiakan manusia. Atau beberapa manusia ini saja membiarkan dirinya bukan dengan otak dan merasa bukan dengan hati, tapi dengan daging diantara selangkangannya. Tak ada yang lebih mulia dari menghadirkan perempuan tak lebih dari sekedar lubang untuk kepuasan hasrat penaklukan. Sebab dari rahhim mereka, kita sebagai daging dan rangka diharapkan menjadi manusia yang seutuh-utuhnya; dan cara terbaik adalah dengan memanusiakkan manusia dalam kadar sesederhana apapun.

CINTA PLATONIS

Amour Platonique.
Aku tak pernah benar-benar percaya cinta platonis itu memang ada. Bahkan, ketika aku sendiri bimbang dan meragu apakah perasaan yang menelanjangiku tiap malam—setiap aku hendak berangkat tidur—ini bisa dikategorikan ke dalam jenis yang Plato sebutkan itu. Aku tetap tak percaya. Aku lebih memilih untuk bungkam dan menolak untuk patuh. Telah lama kuhapus definisi-definisi filsafat tai kucing yang mencoba mengatur apa yang harus dan tidak boleh dilakukan dari kamus hidupku. Mungkin, tepatnya, sejak aku bertemu dan mulai dekat dengan sosokmu.
Aku lupa mengapa aku pernah begitu menyukai senja yang kaotik, menganggap duduk berdua di ujung dermaga menyambut temaram jingga di ufuk barat sebagai hal paling romantis yang dapat kukenang hingga rambutku memutih dan syaraf-syaraf otak perlahan berhenti melakukan pekerjaannya. Aku lupa. Nyatanya, perkenalan dengan lelaki sepertimu mengajarkan hal yang sama sekali lain: bahwa hidup dapat dimaknai dengan sebebas-bebasnya, tanpa harus percaya pada kutipan-kutipan dan kearifan bijak bestari yang bahkan telah diucapkan sebelum kakek dan nenek kita mengenal huruf dan kata.
Berkat kamu, aku mengenal cara hidup yang jauh lebih intim dari itu. Setelah ucapanmu, aku—daripada hanya sekedar menanti senja rubuh—lebih memilih untuk terjaga sepanjang malam denganmu, berdua saja, hingga dini hari tiba . Dalam kesadaran yang mulai lindap, kita sering bercakap-cakap. Atau hanya saling diam. Atau tertidur tanpa kita ingat siapa yang mendahului.
“Jika kita bisa menaiki perahu hingga ke tengah laut, kenapa kita hanya berdiam saja di dermaga?” ujarmu di satu kesempatan.
Aku tersenyum. Analogimu lucu.
“Ayolah. Kau takkan cukup puas jika hanya memperoleh satu kalau kau bisa mendapatkan dua, tiga, atau lebih. Ambil sedikit resiko. Horatius tak pernah takut kalah bertaruh dan mati muda. Ia justru menyebut mereka yang memiliki usia panjang adalah orang-orang sial.”
Aku pun tertawa terbahak begitu kencangnya demi mendengar ucapanmu tanpa tahu di kemudian hari pun aku menangis tak tertanggungkan karena hal yang sama. Rupanya, aku tak bisa memperkirakan akibat yang dihasilkan oleh keberanian yang bodoh, pertaruhan yang tolol.
***
Don't go far off, not even for a day, because --
because -- I don't know how to say it: a day is long
and I will be waiting for you, as in an empty station
when the trains are parked off somewhere else, asleep. 
Suatu kali, entah kenapa sepotong sajak berbicara lebih banyak dari motivator di televisi. Aku merasa ditonjok begitu keras di bagian dagu. Rahangku sakit dan mataku berkunang-kunang. Aku tak bisa berkata-kata saat membaca sajak milik Neruda. Mungkin ini yang dinamakan kekalahan.
Aku tahu tidak sepantasnya aku bahagia dan menanam asa. Seharusnya aku ingat Shakespeare pernah berkata bahwa harapan adalah akar dari semua sakit hati. Namun, sebenarnya aku tak sungguh-sungguh lupa. Aku hanya tak ingin mengingat satu fakta yang pahitnya melebihi kopi dingin yang biasa kita sesap pada dini hari. Fakta bahwa kita hanyalah sebuah konsep semu. Konsep yang takkan bisa dibangun ketika kau dan dia masih menjalin cinta, bersama. Aku hanya mencoba lari dari kenyataan bahwa kita bukanlah siapa-siapa selepas subuh tiba.
Aku sadar bahwa aku hanya perempuan yang menanggung luka. Sendiri. Aku—meski tak bisa dibandingkan dengan Yesus yang rela disalib demi kemuliaan umatnya—tahu bahwa ketika kau tak mampu memanggul dunia yang hampir jatuh di atas kepalamu, akulah orang yang akan kautuju. Kenyataan ini membuatku belajar: selalu ada saat-saat di mana manusia dihadapkan untuk memilih antara idealisme yang mengganggu dengan realitas yang terkadang tak mau tahu. Dan mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mengakui bahwa cinta yang platonis itu sungguh nyata.
“Adakah penengah antara harapan yang tak kunjung redup dengan cinta yang terlalu?” tanyaku.
“Apa kau sungguh-sungguh pernah jatuh cinta?” aku tak yakin.
“Tentu pernah. Bahkan saat ini aku sedang mencintaimu” jawabmu mantap.
Senyum genitmu pun hadir. Mata kecilmu memandangku lekat-lekat.
“Tenanglah, sayangku,” katamu lembut.
“Tak ada kecemasan yang perlu dipelihara hingga menahun. Ia, meskipun berkali-kali kau coba bunuh, akan selalu tumbuh. Sejarah kecemasan telah ada setua umur peradaban manusia itu sendiri. Jika tidak, mana mungkin Adam rela menghabiskan sisa hidupnya di bumi untuk mencari tulang rusuknya yang terpisah?”
“Kau tak pernah menjadi aku,” aku mulai merajuk. Ada sedikit nada pesimis pada kalimat terakhirku.
“Apakah untuk tahu apa yang kau rasa, aku harus menyaru menjadi dirimu? Aku bahkan tak tahu harus berbuat apa”
Kudengar intonasi dalam bicaramu mulai berubah naik. Kemudian, seperti biasa, kau mulai mendongengkan kisah yang berkali-kali aku dengar darimu.
“Dyah Banuwati….” katamu memulai kisah basi yang membuatku muntab.
“Ia, putri Prabu Salya yang sangat terkenal karena kecantikannya itu, adalah garwa Prabu Duryudana. Siapapun tahu siapa Duryudana: Raja Kuru yang mempunyai kuasa tiada batas. Pemimpin Hastinapura yang memiliki tahta atas gading, emas, berlian, juga hasil alam yang tak terhingga. Namun bukan berarti ia juga berkuasa atas hati manusia. Mungkin ia mampu memiliki tubuh molek Banuwati, tetapi tidak dengan hatinya.”
Sebelum skenario usang kembali terulang, aku potong pembicaraanmu.
“Cukup. Aku sudah khatam dengan cerita itu. Aku tahu terusannya. Bahwa hanya Arjuna yang mampu mencuri jiwa kesepian Banuwati. Bahwa dalam malam-malam sunyi selepas perang yang melelahkan, Banuwati menyusup ke tenda milik Pandawa hanya untuk bercinta dengan Arjuna.
Aku paham. Justru kamu yang tak paham bahwa pewayangan hanyalah cerita fiksi. Hentikanlah lelucon yang tak lucu ini. Sudah untung aku tak kerasukan Qabil yang tega membunuh Habil untuk memperoleh Iqlima,” cecarku mengutip kisah putra-putri adam.
Hawa semakin dingin. Toa-Toa masjid saling bersahutan mengumandangkan Adzan Subuh. Sementara, kita tak pernah tau apa yang akan kita lakukan usai perbincangan ini.
“Dari puluhan sajak yang kubaca, tak pernah ada yang sanggup membayar sebuah kehilangan dengan harga yang pantas,” tuturku lirih, mencoba menurunkan tensi.
“Hmm….”
“Kau tentu tahu aku selalu bersedia mengalah. Selalu mengambil jarak dengan perasaan. Aku tak mau kecewa saat pagi yang basah oleh embun kau kembali pulang. Namun tetap saja ada yang lesap ketika aku bangun dan menemukan kau tak ada lagi di sisiku.”
"Aku tidak pernah ingin berjudi tentang kebahagiaan" tukas ku

Kita kembali diam. Membiarkan Adzan Subuh menelan keheningan yang menggigil. Mencoba untuk melepas ragu yang masih tersisa di sela-sela kerumitan ini.
“Boleh aku bilang satu kalimat penutup?” tanyaku ragu
“Apa?”
“Sepertinya aku mencintaimu.
  Kau tersenyum.
“Sayangnya aku punya tempat tuk kembali,” pungkasmu.
because in that moment you'll have gone so far
I'll wander mazily over all the earth, asking,
Will you come back? Will you leave me here, dying?
(Pablo Neruda – Don’t Go Far Off)

Yang Tersisa Dari Januari

i)
Barangkali pertemuan bukanlah sebuah kemewahan yang perlu dirayakan berlebihan. Pertemuan adalah kita tak sengaja berada di sisi jalan yang sama pada sebuah perempatan. Saling sapa barang sebentar. Menanti lampu merah yang segera usai. Setelah itu membunyikan klakson lantas pamit melanjutkan perjalanan. Tiada guna jerit heboh dan saling berteriak. Sebab apapun selalu lesap di antara deru mesin dan arus waktu. Ribut dan keriuhan adalah segala hal yang bernama kesia-siaan. 

(ii)
Begitu pun dengan sesuatu yang kita sepakati dengan nama perpisahan. Dia sudah dituliskan jauh sebelum tangisan pertama manusia di dunia pecah. Malaikat yang dulu mendampingimu, dan malaikat yang mengunjungi rahim ibuku, pernah diam-diam bersepakat untuk mempertemukan aku denganmu barang sejenak hanya untuk dibubarkan kemudian.

(iii)
Aku dan kamu adalah kaum Baginda Raja Nimrod. Bermodal keangkuhan yang begitu besar kita coba melanggengkan pertemuan, membangun menara megah di bawah satu tujuan. Tanpa kita sadari semua akan berakhir dengan perceraian. Yang paling menyakitkan, semua kata masing-masing dari kita menjadi asing belaka. Aku terjatuh dalam kegagapan berbicara. Kamu terdiam dan tak bisa mendengar apa-apa.

(iv)
Sejak itu aku tahu bahwa bahasa adalah palsu. Buktinya tidak juga ada bahasa yang mampu mempersatukan orang-orang yang telah ditakdirkan untuk berpisah. Termasuk aku dan kamu. Kita. Dan segala sebutan yang pernah kamu sematkan untukku. Mereka fatamorgana di jalan raya yang amat terik. Fana yang lekas hilang seketika kita datang. 

TERLANJUR LEBUR



Aku ingin kembali dimana kita masih akur
menikmati senyummu dari jauh memang cukup menghibur
Aku bahkan tak ingin untuk sejenak tak saling tegur

Jika waktu boleh ku buat mundur
aku ingin semua amarah bisa melebur
cukup rindu yang ditanam subur-subur
lalu dituai untuk bekal bahagia seumur-umur

Jika boleh waktu ku buat mundur
sebaiknya kubiarkan pesonamu luntur
karea apa – apa yang sudah terlanjur
Taka ada yang selamat, kecuali hancur

Seperti aku yang babak belur

Kepada Tanda

Kepada Tanda,

Tanya, apakah kamu sibuk merindu di sela jemu yang ragu-ragu? Jendela kita, yang menghadap tembok rumah sebelah sudah bisa dibuka meski temaram masih menjelaga.

Seru, sudah tenggak saja basah mimpi malam yang sudah kuendapkan seharian! Matamu sudah tak sanggup lagi memendar cahya. Redupkan...redupkan sejenak.

Baca, pada koma kesekian, merangkaklah perlahan lewat sela jemariku saat lembar-lembar itu menyerah pada titik. Ada suara yang tak perlu (bisa) kau dengar ketika bibirku beradu.

Tanda,
Aku menyerahkan "sepenuh-

luruh".

H A N Y A

Ada 5 kecup yang hanya bisa kamu sampaikan lewat jemari. Hanya ada 4 yang terbaca. Ada satu yang tertinggal di saku celana. Cinta yang setiap hari aku curi dari hatimu.

Kau tahu sebenarnya apa yang paling aku takutkan?
Merindukanmu namun tak punya cukup waktu untuk memelukmu

Bersandar

Bersandar di bahumu, dalam diam, dalam kecupan kening yang biasa.
Bersandar di hatimu, dalam kantuk, dalam lelap tidurku yang biasa.
Bersandar di sisimu, dalam rutuk, dalam waktu yang tidak bisa binasa.

Masa

Untuk cinta yang namanya kusebut dalam do'a.

Dalam harap yang katamu tak boleh disebut,
aku menggambar masa depan tanpa nama.

Sini, duduk berdua.
Beri tahu aku caranya mencampur warna, atau beri aku waktu untuk tahu bagaimana mencampur rasa.

Tuhan, kali ini aku ingin menulis nama.
Tapi benarkah kau mendengar do'a?

Perbincangan Telepon


Ketika orang bertanya dan berkata bahwa hubungan ini akan sedemikian sulit, 
aku tersenyum. Aku tahu.

Tubuh mana yang tak butuh cinta yang bertubuh?
Lalu darimana rindu memperoleh nafasnya?

Kita tahu dimana akan bermuara, tetapi keras kepala untuk nekat kesana
Kita tau jarak itu berat, tapi memaksa untuk tetap terikat

Aku tahu kita kehilangan banyak, kehilangan banyak waktu bersama, kehilangan kata, kehilangan jeda, kehilangan cerita, sekarang aku kehilangan suara. Sebentar lagi aku kehilangan akal sehatku. Tidak apa, asal belum kehilangan, kamu.

Aku terus menerus merajuk, marah, menangis dan mengemis

Mungkin kau memang tak suka perbincangan telepon. Mungkin tak ada lagi cerita. Atau mungkin, hari terlalu larut jadi kisah kita sudah hanyut. 

Kau sudah lelah hingga bicara kian jengah.
Sementara aku, mengumpulkan air mata yang belum pula berubah jadi permata. Yang membunuhku adalah waktu yang tak bisa kubeli. Aku tidak punya uang lagi seharusnya aku berhenti berlari. 

“Halo?” Kataku,
"......"
Tuttt.......... tut........ tut.......

Aku tak punya cukup kekuatan untuk membayangkan kau pergi. Bukan karena apa-apa. Aku hanya tak paham bagaimana mencintai sambil berfikir engkau meninggalkanku.
Aku tak mengerti bagaimana mencintai sambil bersiap untuk berhenti mencintai. Aku menolak sekalipun ia datang sebagai satu misal.

Aku menempatkan tanganmu menjadi bagian dari jemariku, 
Ketika kau tak mau lagi bergandengan, aku yang berantakan

Aku juga menempatkan namamu di sela-sela rusuk. 
Ketika namamu patah, bagiannya menusuk.


ps : ruang paling gelap dan senyap, dimana rindu berubah jadi derap keputusasaan. Rindu harusnya mengalir deras di ruang paling dahsyat, tapi harus mundur karena tali jarak yang tidak cukup kuat.

Kamis, 18 Januari 2018
 

Catatan Gadis Puisi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review