PEREMPUAN, BUKAN SEKEDAR DAGING

Buat saya seks itu sakral,

Dan sekarang tanyakan bagaimana relasinya hingga seorang laki-laki (ingin) menidurimu?

Does your significant other have sex with you, wiith “you” as a complete human-being or “you” as a mere object of his/her fantasies?
-
Seorang teman pernah bertanya kenapa sekarang saya begitu terbuka berbicara soal seks. Jawabannya sederhana: sebab saya paham bahwa seks yang sehat tak harus ditabukan. Penabuan terhadap seks sama dengan pembungkaman pemahaman. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman akan seks adalah perbudakan. Apatisme sekaligus arogansi yang laten melanggengkan perkosaan, pelanggaran hak manusia yang asasi.

Barangkali demikian maksud dari jargon anti seks-bebas. Buat saya makna dari jargon tersebut seks yang tidak bebas, tidak bebas sebab setiap orang dijustifikasi untuk tidak tau apa-apa tentang seks, tentang tubuhnya, tentang kelaminnya—tentang haknya sebagai manusia yang utuh; dan sebagaimana masyarakat patriarki ini berkembang: perempuan akhirnya harus menjadi kerbau yang kemudian disetir oleh konstruksi sosial untuk terus menurut apa yang dihasrati sesuai dengan yang laki-laki inginkan. Sebab semakin banyak laki-laki yang “berhasil” meniduri kekasihnya/ teman perempuannya, ia disebut jantan; dan perempuan yang ditiduri oleh kekasih / teman lelakinya ia sebut pelacur, sundal, perek, jablay dan rentetan diksi yang begitu kreatif (tapi sakit jiwa) yang diciptakan oleh masyarakat yang sinting ini. Seks menjadi tak lebih dari sekedar proses penaklukan,

Masyarakat mengkonstruksi perempuan menjadi tak lebih dari sekedar daging dan lubang untuk memuat segala hasrat laki-laki, bukan menghadirkan perempuan sebagai perempuan yang utuh. Pada poin ini ingin sekali saya katakana bahwa : bisakah kita bilang bahwa lelaki yang demikian tak lebih dari sekedar daging hewani tak berotak yang terjebak di pangkal paha? Kenapa saya bilang demikian karena kelamin adalah otak kedua manusia; darinya timbul keberadaban atau kebiadaban. Dan kesedihan adalah menyaksikan banyak perempuan menerima saja konstruksi sosial itu kepada dirinya sendiri tanpa berani mempertanyakan pertanggungjawaban humanis di baliknya.


Saya pernah membaca twit penulis kesukaan saya, ayu utami:
“Seni untuk seni? Boleh. Tapi saya bukan tipe yang melakukanya. Cukuplah seks untuk seks.. Lho justru karena seks untuk seks, maka dia secukupnya saja, tidak berlebihan”

Saya pikir tidak. Seks tidak cukup hanya untuk seks. Sebab praktek seni hanya untuk seni, ia akan menjadi begitu kering. Ia menjadi eksistensi yang begitu miskin esensi.
Saya jatuh cinta pada manusia, dalam perjalanan saya hingga sekarang saya percaya bahwa esesnsi dari eksistensi diri saya sebagai manusia paling banyak berasal dari tanggung jawab saya untuk menghadirkan eksistensi orang lain di sekeliling saya secara menyeluruh: percakapan, pemikiran, kebiasaan, hingga kelalaian adalah unsur-unsur yang begittu unik. Kesemuanya membentuk upaya saya dalam memahami dan menerima (menghadirkan menyeluruh)  keberadaan manusia yang jalan hidupnya dipertemukan dengan jalan hidup saya..

Relasi unsur-unsur pembentuk ke-diri-an manusia yang metafisis itu menjadi begitu intim dengan sentuhan-sentuhan: jabat tangan, rangkulan, pelukan, hingga ciuman. Karena nya, hubungan seks adalah momen yang sakral: sebab didalamnya dengan segenap perangkat kemanusiaan kita (kesadaran, perasaan, kehendak, kebebasan, tanggung jawab yang mengikutinya) kita menghadirkan eksistensi orang lain secara menyeluruh ke dalam diri kita dalam tahap yang paling tinggi, paling intim, paling istimewa. Oleh karenanya ia disebut bersetubuh, setubuh-satu tubu. Yang idea dari rasio dan akal melebur dalam penyatuan medium fisik materil untuk kepuasan yang ( mungkin ini berlebihan) romantis. Ia menjadi begitu “spiritual”

Oleh karenanya, satu-satunya yang tidak bermoral dari seks adalah seks yang terjadi tanpa adanya konsensus antar para individu pelakunya; sebab jika salah satu dari individu  yang melakukan seks itu berada dalam momen seks dengan tidak dalam keadaan kesadaran, bukan dengan kehendaknya, bukan dengan kebebasan dan kesadaran tanggung jawabnya, ia telah diperlakukan bukan sebagai manusia oleh si individu. Hal ini menjawab mengapa berita—berita tentang perkosaan dan segala jenis pelecehan dan kekerasan seksual membuat miris hati saya sebab praktik-praktik ketidakmanusiaan menyakitkan hati sampai ke tulang. Ini bukan soal keperawanan yang direnggut, tapi penghargaan diri sebagai seorang manusia utuh yang tak diindahkan sama sekali. Pelaku perkosaan adalah daging tak berhati dan tak lebih dari itu, sebab terhadap kelaminnya ia hanya berkiblat pada insting seksualnya. Akal – budi nya telah ia matikan.

Karena itu saya percaya, seks tidak bebas nilai
Dan ini hanya pendapat saya saja, sebab orang seharusnya bebas (bebas sebab ia bertanggung jawab sebab ia sadar dan paham apa yang menjadi pilihannya itu) memiliki pandangan tentang seks sebagai manusia, selama pilihannya terhadap seks mampu memanusiakan manusia lainnya..
Sebab aktivitas seks yang melahirkan manusia ke bumi ini telah terlalu banyak dijadikan dalih untuk tak memanusiakan manusia. Atau beberapa manusia ini saja membiarkan dirinya bukan dengan otak dan merasa bukan dengan hati, tapi dengan daging diantara selangkangannya. Tak ada yang lebih mulia dari menghadirkan perempuan tak lebih dari sekedar lubang untuk kepuasan hasrat penaklukan. Sebab dari rahhim mereka, kita sebagai daging dan rangka diharapkan menjadi manusia yang seutuh-utuhnya; dan cara terbaik adalah dengan memanusiakkan manusia dalam kadar sesederhana apapun.
 

Catatan Gadis Puisi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review