RELUNG WAKTU

Apa yang tersisa dari jejak yang dihapuskan pasir kepada air?
Lumbung kaki-kaki yang menimbun ingatan-ingatan perjalanan,
angin dan genggaman hujan

Apa yang terpelihara dari tubuh-tubuh yang datang silih berganti?
menuangkan tujuan mereka masing-masing lalu melaut bersama udara
yang dingin memekakan tas, wewangian, pakaian sementara?

Kita dicurigai orang-orang dan diusir oleh dermaga kita sendiri
Pergi dan pulang hanya omong-omong kendaraan
Membawa gugusan petang
dan akan segera terbenam menjadi malam

Palung hati mengubur perahu-perahu yang mondar-mandir
Di perhentian keterasingan
Menahkodai badai yang kerap datang, sambil membawa tumpukan makanan cepat saji.
Yang hangat sambil menidurkan kita dari piring-piring kebahagiaan, sebentar saja.


ALMANAK

Sudah kesekian kali aku menaruh rindu di sepasang matamu
Kelopakmu mengepak seperti burung ingin terbang
Menggendong angin yang kusut

Ada yang lebih penting dari rupa-rupa angka dan peristiwa
Adalah kita yang masih saja mempersoalkan
Aku yang tak berubah
Atau kamu yang selalu gerah

Dan selalu saja, waktu, cuaca dan suasana
Jadi tameng kita
Untuk  berlindung bersama  
Kaleidoskop yang serakah                                                                                                                                                               

TENTANG AKU, KAMU DAN MINKE

Kemana saja aku selama ini?

Aku yang merasa telah tercukupi dengan aksara-aksara tentang eksistensi Tuhan, aku yang kerap beradu tipu dalam diksi hasil buaian imajinasi atas nama fiksi, aku yang menenggelamkan pikiran bersaama buih-buih percakapan seluas samudra, akhirnya harus merasa hilang di hadapan Pramoedya Ananta Toer yang kamu hadirkan di depanku.

Dua Minggu terakhir, Aku telah menjadi perempuan dengan sorot mata memecah gumpalan waktu. Jiwaku mengembara menuju masa lalu. Bukan masa laluku. Aku pergi ke masa lalu yang tak pernah ku jumpai dalam lintasan waktuku, dan aku berkenalan dengan beberapa orang yang namanya sudah cukup hangat di telinga dan mataku sejak diriku mulai mengenal cinta monyet karena tuntutan pubertas. Di masa kini, kamu lah yang telah benar-benar mengenalkanku pada mereka.

Minke. Secara pribadi aku memang tak mengenalnya, ku pastikan dia pun tentu tidak mengenalku bahkan melalui firasat angin sekalipun. Kabarnya ia sedang didera cinta monyet pada seorang noni. Perkara cinta monyet itu membuat hidupnya digentayangi oleh monyet-monyet yang dahulu pernah mengatainya “monyet”

Monyet-monyet yang mengganggu hidupnya itu, lagaknya seperti manusia biasa. Manusia tanpa pakaian. Dan pakaian entah bagaimana teori awalnya telah berubah nama menjadi: adab.
Tentunya kita boleh saja memberi simpulan: pada zaman teknologi layar sentuh ini, semakin bagus pakaian seseorang, semakin ‘apik’ adabnya.

Beberapa waktu lalu, aku pernah terkungkung dalam satu ide gila. Aku adalah perempuan tulen, bersolek layaknya perempuan muda yang dewasa, berupaya santun serta menjaga wicara, sampai ide gila itu muncul bahwa aku ingin menjadi laki-laki. Tidak lama mungkin, hanya seminggu saja. Gejolak rasa ingin tahu telah membuat pikiranku terbang menembus batas nalar. Aku tidak sedang bosan menjadi perempuan, hanya penasaran tentang wujud diriku yang lain. Aku perempuan dengan banyak sisi keperempuanan, namun belum pernah ada dalam sisi kelaki-lakian dan aku sangat ingin tahu tentang hal apa yang akan sama dan atau berbeda dalam sepucuk diri yang berbeda gender. Penasaran . itu saja.

Sampai...

Dua minggu terakhir, Minke, Nyai Ontosoroh, Bunda dan Annelies, akhirnya berhasil membebaskanku darri kungkungan ide gila yang menghantui. Aku diajak menyaksikan pergulatan antara kekuatan dan kelemahan. Dua kubu berlawanan yang sejatiny sangat tipis perbedaannya. Rentan, namun gesit seperti kilat. Aku turut pula menabuh debar saat mereka menabuh genderang perlawanan, menabung kebencian, dan membuat pikiran berhasi; menghimpun rasa kuat, namun sayang, sekejap mata berkedip, kekuatan itu terjungkir dan akhirnya menjadi bentuk-bentuk kelemahan. Begitulah dunia dari masa ke masa.
Tetapi mereka membuatku belajar tentang kekuatan yang meruntuhkan logika dalam ilmu. Aku juga menyesap bagaimana kelemahan mampu menaklukan kekuatan.

Aku berdecak ketika melihat dengan mata hatiku sendiri seorang perempuan pribumi, yang harga dirinya tak lebih mahal dari kebeliaannya saat ditawarkan pada seorang pemuja birahi di negeri sebrang, mengacungkan tangannya melawan kekuatan yang berlipat kali lebih besar dari negeri yang memberinya makan.

Aku menyaksikan dengan rasa syahdu, bagaimana kelemahan seorang perempuan yang bersikap kekanakan saat memenjara dan mengunci mati hati seorang pemuda terpelajar yang dicintainya, hingga pemuda itu tak lagi sanggup meminta dirinya untuk dibebaskan.

Aku hanyut dalam airmata seorang Bunda yang memandikan anak laki-lakinya yang keras kepala dan sedang tersedu-sedu di hadapannya saat akan dihantarkan menuju pelaminan.

Aku hanyut tanpa tenggelam. Aku hanyut menuju satu muara. Lautan kelembutan. Itulah kelemahan yang mampu membuat kekuatan bertekuk lutut. Begitu cara perempuan-perempuan dalam hidup minke menjunjung Bumi Manusia.

Dan Bumi Manusia mereka itu telah membuat seorang perempuan sepertiku berhenti dari keinginan menjadi seorang laki-laki.

:: Untukmu, ku serukan satu yang menjadi kesukaanmu: “Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain”
 

Catatan Gadis Puisi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review