KEPADA OKTOBER

Sepanjang yang aku tahu, tidak ada jarak yang cukup jauh untuk memisahkan seseorang dari ingatannya. perihal kita memang tak pernah larung ke mana pun. Ia karam tepat di kaki kita sendiri, menunggu apa pun yang cukup kuat untuk mengangkatnya kembali ke permukaan pada saat yang paling tepat atau paling sekarat. Rindu salah satunya. Bentangnya kilometer ternyata gagal memisahkan kau dari pikiran aku, bahkan semakin dekat aku rasakan.

Hari-hariku sepi dan menyisakan banyak ruang. Tidak tawa, tidak pula kata lepas terlalu banyak dari bibirku dan karenanya membuat kekosongan ini semakin nyata. Tanpa aku sadari, ingatan-ingatan tentang kau jatuh serupa hujan, menggenang, dan mengenang di dalam memori ku . Aku basah oleh wajah dan tatapan kau.

Rindu juga semacam api abadi yang dicetuskan rentang jarak ketika beradu dengan waktu. semakin lama, setiap apa yang ada dalam hatiku memanas karenanya dan tanpa sadar, aku telah dibakar perasaan ingin bertemu denganmu. Berada jauh dari lengkung senyummu, pelukan mu, hangat tatapan mu, bahkan kemacetan kota yang kita kutuk karena sungguh menghanguskan ruang-ruang kegembiraan.

Setiap yang luang dalam waktu-waktuku berubah menjadi genangan kenangan. Aku berusaha menjangkau ingatan-ingatan tentang kau untuk meredakan diri, tetapi kenangan adalah minyak bagi rindu-rindu yang terlalu. Semakin aku mengingat, semakin besar aku merindukan mu. Ah, tidakkah rindu yang bertumbuh dari masa ke rasa serupa candu?

Mari kita rebahkan cinta. Pada bentang lengan yang erat mendekap. Pada bidang dada yang utuh berdetak. Pada tubir pipi yang bertemu puncak-puncak pundak. Mari kita jatuhkan cinta. Pada kira-kira yang curiga tetapi memilih percaya. Pada amarah juga ciuman yang membakar. Pada bumi yang ditelan gravitasi. Pada hal lain atau waktu yang tak hendak berhenti.

Lengang-lengan jarak tidak mampu merintang ingatan orang-orang yang mencintai. Terlalu banyak perasaan yang bisa muncul dalam kepala perindu meski dari sedikit kenangan. Waktu bahkan mengendur di hadap dekap ingatan. Aku bisa mengukur satu sudut senyummu selambat yang rindu dahagakan. Aku mau dan mampu lesap sebelum lepas dalam tatapan kau. Ingatan penuh hal-hal menyenangkan semacam itu. Di pisah jarak seperti ini, atau di pisah waktu suatu nanti, aku ingin kau tahu seberapa pun jauhnya, ingatan selalu mampu membuat kita tidak pernah ke mana-mana
.
Kau mesti tahu, tak ada seorang lain yang lebih dekat dari jarak kita yang aku cintai selain kau. Kau mesti percaya, sejauh apa pun aku pergi, kaulah letak kepulanganku. Bila kau telah yakin, perihal berikutnya yang aku lakukan akan lebih mudah; meyakinkan Tuhan.

Dalam jangkauan doa,


NA

KEPADA RINDU DI UTARA

Untuk Engkau yang menunggu di Utara

Betapa kupaham kecemasan-kecemasan yang tergelincir dari sendu tatapan yang menggema dalam bunyi yang sunyi diantara senyuman dan tawa.Dengan detik yang berdetak lebih cepat, kau perlahan muak oleh suara bising di telinga dan kepala;perihal rahim yang belum mampu membaca kehidupan atau perihal keraguan yang mencuat. Barangkali, suara bising yang akan kau dengar serupa desis ular, mengancam satu persatu langkah, sebab kau tahu jika salah kakimu melangkah, ada jiwa yang terbunuh perlahan.
 
Cahayaku. Kau, aku, dan mereka; memang berada di bawah langit yang sama, tapi bukankah masing-masing memiliki musim yang berbeda? Berjalanlah ke mana seharusnya kau berada. Kemas segala cemas, dan berdansalah di tengah hujan yang bermukim di kantung mata. Percayalah, bahwa sesungguhnya manusia lebih butuh tepat daripada cepat. Dan untuk senda gurauNya, bersyukurlah sebab kau di selamatkan dari banyak kejatuhan yang mungkin lebih buruk dari yang seharusnya.Pada suatu petang, barangkali kau akan terkejut pada fragmen-fragmen cuaca di luar nalar; ketika isi kepalamu telah mahir menyisir harapan, dengan dada yang meriwayatkan doa-doa. Percayalah pada kelakNya yang jauh lebih indah dari apapun yang kau inginkan.

Kepada yang mencoba menerjemahkan warna-warna pucat di sebuah taman, 
Bersandarlah meski sekedar. Kesabaran memang tak serupa orang tua yang duduk di kursi goyang, dan menanti ajal di depan mata. Sungguh aku pun percaya, kakimu lebih lincah mengayunkan diri ke tujuan. Namun, aku adalah perempuan yang mencintaimu lebih dari sebuah kalimat, yang kerap memakamkan lelah untuk menyertakanmu di setiap doa. Dan surat ini hanyalah satu dan kesekian pengingat. Pengingat bahwa pelukanku masih menjadi rumah yang hangat jika dengan izinmu, dan izinNya. Pengingat, bahwa aku dalam getar rinduku tetap memanjatkan doa berisikan engkau kepada sang Pemilik Senja dan remang petang. Aku merindu engkau yang matanya seperti musim semi. Memberi damai bunga-bunga yang diterpa matahari. 

Pulanglah pada rengkuh yang tepat. Kepada temu yang menghamba kebersamaan paling sahih saat purnama. Agar lenyap sudah gelisah yang dicincang halus pisah. Agar mati sudah curiga yang dihantui jarak seribu mil jauhnya.

Yang mencintaimu,

- Aku -


DUA PULUH ENAM JULI 2016

Bahagia mungkin sesederhana terlentang di rerumputan dan menghitung berapa jumlah bintang yang ada, meracau tak jelas sebab api tak juga menyala sempurna, lalu bertengkar memperdebatkan letak planet yang sebenarnya.
Bahagia mungkin sesederhana memasak puding coklat pukul tiga pagi, dan memperebutkan sisa puding yang masih menempel di panci untuk dihabiskan olehku, atau olehmu, yang akhirnya oleh kita.
Bahagia mungkin sesederhana sebuah pengharapan, “Semoga Tuhan mencatat hal ini sebagai sekumpulan hal yang akan selalu aku lihat kelak, setiap harinya. Dirinya, dan segala tentangnya.”


Bandung, 26 Juli 2016

Dari Mana Datangnya Benci ?



Sewaktu kecil, kira-kira kelas tiga SD, saya pernah punya pengalaman yang berhubungan dengan kebencian, tidak hanya itu masuk periode SMA dan fase perkuliahan pun saya menemui kasus yang sama, yang sampai sekarang masih gagal saya pahami. 

Pada bangku SD,  Saya merupakan murid pindahan. Saat itu saya satu bangku dengan mawar yang juga murid pindahan. Entah awalnya darimana, teman satu kelas saya namanya melati membenci mawar sampai ke ubun-ubun. Saya sungguh bingung kenapa melati bisa membenci mawar sampai segitunya. Dia menghasut teman-temanya untuk ikut serta membenci melati, termasuk menghasut saya. Tapi saya justru memilih berteman dengan dia. Dan saya pun ikut dijauhi oleh mereka.

Kedengarannya sederhana. Konflik anak kecil ingusan, konflik remaja. Tapi sesungguhnya pengalaman itu cukup traumatik untuk saya. Saya adalah orang introvert, saya punya kecenderungan bersikap pasif jika ditekan. Saya masih ingat bagaimana rasanya harus diam seribu bahasa, berusaha menghilang dari pandangan semua orang, sementara mawar menebar racun kebencian di udara.
Dari mana datangnya kebencian sehebat itu di otak seorang anak, remaja bahkan dewasa?  Dari mana datangnya benci? Darimana datangnya kapabilitas seorang manusia untuk membenci? Kebencian, saya kira, bukanlah sesuatu yang bersifat primal. Kalau rasa takut, itu berbeda. Rasa takut adalah salah satu mekanisme pertahanan diri paling purba dari makhluk hidup.
Rasa takut adalah sesuatu yang secara inheren ada dalam sistem saraf dan hormon makhluk hidup, yang melahirkan flight or fight response. Adrenalin. Kabur atau melawan. Demi bertahan hidup. Tapi rasa benci? Bisakah hewan membenci?  Pikir punya pikir bahwa rasa benci erat kaitannya dengan rasa superioritas, perasaaan “lebih” dari yang lain.

Penjelasan pertama: superioritas bisa lahir dari trauma. Tapi ini bukan mekanisme trauma yang biasa. Trauma adalah sesuatu yang dapat melahirkan ketakutan yang sangat besar. Setiap hewan bisa merasakan itu. Seekor anjing yang trauma pada manusia yang menyakitinya akan berusaha menghindari manusia, mengginggit kalau perlu.
Tapi pada manusia, trauma melahirkan sesuatu perasaan yang lain: perasaan ingin mengalahkan, ingin menghancurkan. Ingin menjadi lebih superior dari pihak yang dulu menggunakan superioritasnya untuk menindas dan menghancurkan, lalu pada gilirannya dapat menggunakan superioritas itu untuk balik melakukan penindasan dan penghancuran, setara atau malah kalau bisa lebih dari yang dulu diderita. Mata dibayar mata, gigi dibayar gigi. 
Trauma melahirkan dendam. Dan dendam adalah kapabilitas manusia, bukan hewan. Untuk teori pertama saya tidak ambil dari buku manapun.

Teori saya yang kedua adalah superioritas yang lahir sebagai dirinya sendiri. Sebuah teori yang  saya ambil dari komentar-komentar negatif di salah satu instagram artis. Padahal kemungkinan besar mereka tidak pernah dengan tangan pertama mengenal artis itu, mengetahui kehidupan pribadinya, bicara dengannya, bergaul dengannya, mengetahui isi kepalanya dan pandangan-pandangan hidupnya.  Bagaimana mau mengenal jika mereka terus menghindar, seperti orang yang takut pada bayangan.
Pertanyaannya adalah kalau boro-boro pernah disakiti lalu dendam, sedangkan mengenal saja tidak. Lalu dari mana datangnya benci itu? Orang yang merasa lebih superior dari yang lain mudah untuk mengobyektivikasikan mereka yang lain itu – menganggapnya sebagai benda yang bisa diapakan sja, mau itu dimiliki, diberi label harga, dirusak, dikucilkan, dieksploitasi, dilaknat dan seterusnya.
Superioritas juga bisa melahirkan sikap jijik yang tidak beralasan. Karena merasa lebih baik dan lebih suci dari yang lain, kita menjadi jijik dan merasa dikotori oleh kehadiran yang lain itu. Seperti sampah yang mengotori rumah. Selain itu, sikap superioritas juga bisa berkembang menjadi sikap insecure yang didasari kepongahan: masa sih kita yang jauh lebih berharga ini layak disaingi atau layak disamakan dengan yang lain itu? Bermula dari jijik, menghindari, mengutuk, takut disaingi, takut digulingkan, lama-lama berubah menjadi kebencian. Menjadi keinginan memusnahkan dan membinasakan.

Seperti kata Musdah Mulia, seorang feminis Muslim:
Only God has the right rule whether people are wrong or not, faithful or not. The problem with our society is that there are too many people who place themselves as God”


Memang sih bukan Cuma salah (intrepretasi) agama. Bisa ras, seperti fasisme versi Hitler. Bisa ideologi politik, seperti “bahaya laten komunis” di Indonesia. Bisa juga pola pikir bias gender yang memuja maskulinitas. Ada banyak cara untuk menjadi fasis. Semua orang bisa menjadi fasis versinya sendiri. Kuncinya Cuma satu: merasa lebih superior dari yang lain.

Saya menjadi ingat, Anggun C Sasmi menulis mengenai love is love. Bahwa cinta adalah hak asasi semua manusia. Tapi kadang tidak sesederhana itu. Menurut saya, cinta tidak lahir jika tidak didasari oleh kesetaraan. Seseorang yang menganggap orang lain tak sederajat dengannya tidak mungkin bisa mencintai orang itu. Mungkin bisa merasa memiliki. Mungkin bisa melindungi. Memberi perhatian, bahkan bersikap posesif. Tapi itu bukan cinta yang sesungguhnya. Cinta adalah sesuatu yang sifatnya timbal balik, memberi dan menerima, menginisiasi dan merespon. Dan agar prosesi timbal balik itu tulus dan alamiah, kedua belah pihak harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
Benci mungkin terlahir dari awalnya tampak seperti rasional, atau pembenaran sehingga seolah rasional. Tapi benci akan selalu berkembang menjadi sesuatu yang irasional. Dan jika gumpalan irasionalitas itu semakin besar, maka akan seperti bola salju yang berguling. Jejak ketakutan dan kebencian berikutnya yang ia tinggalkan akan  semakin panjang dan lebar. 

Lantas, sampai kapan kita akan seperti ini? Sampai kapan kita melahirkan generasi pembenci, yang memuaskan ego dengan menendangi bangku orang-orang yang mereka anggap lebih rendah dari mereka? Sampai kapan kita tahan menjalani hidup penuh dengan parade kebencian? 

Apakah harus menunggu sampai kita semua habis karena saling bunuh?

Saya teringat sebuah pernyataan, katanya kemustahilan kedua setelah berharap menjadi Tuhan, adalah berharap disukai semua orang.

Unsaid Feeling

Ada beberapa, atau mungkin banyak yang tak bisa ku muat disini. Ku selalu, akan menentang sebuah hipotesa dungu, “Tak pernah ada kata terlambat.” katanya. Namun nyatanya, banyak hal yang sengaja ku lewatkan, ku tunda hingga akhirnya semua terlambat. Terlambat itu selalu ada. Terlambat adalah satu dari kata paling laris di kamusku, sayang. Kau tahu itu. Namun tetap saja, selalu ada sesuatu untuk di perbaiki, mungkin. Atau setidaknya, ada yang harus ku kemukakan. Suatu yang pernah suatu masa kau baca, namun tak pernah kau pahami.
***
Untukmu yang kini ku tetapkan sebagai pilihan
Mungkin melangkah bersamamu, yang pada awalnya hanya berupa gurauan saat hujan tak juga reda, dan kita terjebak didalamnya adalah perjalanan yang paling panjang dan juga doa-doa panjang. Namun tak pernah sedikitpun lelah dari kaki yang terus melangkah, dan mulut yang tak henti merapal kerendahan diri dihadapan Tuhan; ialah doa.
Mungkin benar adanya, jika dewasa tak dapat dikisar oleh angka dan bahagia yak dapat ditawar oleh ribuan lembar. Denganmu, segala hal yang ku anggap tabu terdahulu, menjadi hal yang ku yakini dengan teguh pada saat ini. 

Sesungguhnya, ada sebuah pertanyaan yang kemudian melahirkan pernyataan yang sempat ku kemukakan kepadamu, “Mengapa, bagaimana bisa kita berjalan melebihi jarak yang pernah kita perkirakan.? mengapa kita bisa menakar sebuah rasa yang ceritanya pun baru saja kita mulai? mengapa kita seperti dua orang yang pernah bertemu, kehilangan kemudian bereinkarnasi dan menjadi satu seperti sekarang?” lalu terlahirlah satu kalimat darimu yang tanpa gusar mematahkan keraguan. “Seperti yang sering kita bicarakan bahwa kualitas tak pernah dijamin keberadaannya dalam sebuah kuantitas. Baik aku maupun kamu, kita saling memahami. sesederhana itu. Waktu yang lama pun tidak menjamin kenyamanan akan hadir secepat ini.” Namun rasanya itu terlalu kasar untuk dicerna sebagian pemikiran. Bagaimana dengan ini, “Jika kisah ini adalah sebuah buku, maka buku inilah yang akan ku baca lambat-lambat. Sebab di setiap kalimat baru, ada yang ingin ku baca dan pahami pelan-pelan. Hingga tiba di suatu pelan, kasih, ajari aku membaca lagi.” 

Kali ini, aku tak akan bercerita tentang bagaimana semuanya bermula. Sebab aku sedang ingin senyumku bermakna rasa syukur, bukan senyum geli seperti remaja yang kali pertama di kecup pipinya. Kau tahu, bukan? Bahwa kita adalah sepasang luka, atau bahkan kita bukan luka sama sekali. Ada masa dimana kita jengah akan nanah berbau busuk yang keluar dari tepian diri kita. Namun tak jarang kita adalah luka yang sembuh seluruh, sempurna tanpa bekas, namun terlalu congkak sehingga pisau dan potongan kecil kayu yang tajamnya tak seberapa itu merasa tertantang, terangsang untuk melukai kita kembali. Hingga akhirnya, kita tak pernah benar-benar sembuh. Dan kita memulai sumpah serapah itu lagi; pada hujan, pada daun, pada sampah, pada apa-apa saja yang terlihat untuk dijadikan sebab. Begitu terus menerus hingga hujan telah lekas mengepak diri, terburu-buru pergi. Dan saat kemarau datang, kita diam.

Jurang dan Laut

Kita mengenal beberapa orang, banyak, dalam hidup ini. Ketika pertama jumpa yang kita tahu hanya topengnya saja. Lama-lama kenal kita akan diajaknya pergi, antara jurang dan lautan. Jika kita dibawanya ke jurang, berarti begitu jauhnya beda kita. Kita terjun dia tidak. Jika dibawanya kita ke laut, berarti begitu rapatnya persamaan kita. Diajaknya kita berlayar, bersama-sama. Ini kejujuran.

Lampu Merah Untuk Perempatan Jalan

Caramu menghargai dia
tak berbeda, tak ada yang beda
bagai pasir pada gedung bertingkat
bagai setetes air pada hutan hujan tropis
bagai satu bintang diantara gemerlapnya malam
bagai kerikil di bentangnya gunung
bagai terkaparnya tikus got di jalanan
bagai awan di pagi ini
menghias, melengkapi tapi tak terhiraukan

cara dia memahami dia yang lain
sedikit berbeda, iya, hanya sedikit
sedikit lebih baik daripada caramu
seratus kata kau jawab dengan satu kata,
tapi cara dia memahami dia yang lain berbeda
setidaknya, dari seratus kata yang dia keluarkan, dia jawabnya dengan dua hingga tiga kata
sedikit berbeda, setidaknya untuk ukuran saya

terima kasih.

Ending

Kemudian semua menjadi sepi
haru dan tawa menjadi tak berarti
padamkan semua mimpi
hilangkan rasa di hati

aku benci menjadi seperti ini
menjadi penonton dalam sandiwara diri sendiri
konyol, namun perih bagai ditusuk duri

aku rela menjadi buih
bagi putih dalam putih
tak berarti
dan terbuang bagai daki

Fantasi

Ada satu hal yang paling kubenci
yaitu memandang fotomu setiap hari
melamunimu untuk ratusan kali


ini fantasi.



Aku mati
mati dalam kehidupan diri sendiri
menafkahi fantasi yang kubenci
kemudan, mati lagi.

Dan aku benci semua ini.

Senja

Terbangunkan Senja
Sore ini aku tersadar dari lamunan panjang disiang hari
Sore ini membawaku kedalam transformasi
Transformasi cerita hidup yang tak pernah berhenti
Kita meminta lebih
Kemudian sore ini berubah menjadi senja
Seketika semua memerah
Padam mengaharukan kata-kata
Kelam membiaskan asa
Kuusap mataku yang sayu
Kulihat semua semu
Sirat sendu

Hidup yang indah

Hidup ini indah dengannya perasaan
hidup ini berwarna dengannya air mata
adakala kita tak bisa berkata
hanya nanar yang meraja

ada baiknya kita tak bisa berkata
hanya tangan yang meraba
tujuh juni dua ribu lima belas

aku rasa ini fana
tapi aku selalu suka
aku rasa fana ini semakin fana
dan aku senantiasa menyambutnya

aahh
hidup ini memang indah
semestapun demikian

kau buat campur aduk rasa jadi pasrah
pasrah jadi lara
kemudian lara akan semakin dalam
jauh lebih dalam dari biasanya
dan kini kedua sayap itu telah patah

ku buang air mata
namun tetap tak terucap
hidup ini indah dengannya rasa, dengannya lara.

Berbicara Denganku

Berbicara denganku sungguh membosankanku
pun aku merasakan seperti itu ketika aku mulai berbicara sendiri
atau setidaknya berbicara dalam hati

berbicara denganku membuatmu mati rasa
pun aku merasakan demikian, hambarkan pokok pembicaraanku
aku yang tak pandai berbicara ini ditambah kamu yang cepat bosan, lengkap sudah

apa yang perlu diperjuangkan?
pun akupun tak ingin memperjuangkan.
kita nikmati saja kebosanan ini.

Bandung, 02 november 2015

Tentang Nay: Perempuan dan Moralitas

Ruangan bioskop itu cukup sepi, hanya saya dan beberapa orang yang jumlahnya bisa dihitung jari. Kami adalah kerumunan jika merujuk pada Le Bon dalam bukunya The Crowd: A study of the Popular Mind (1985), kami adalah sekumpulan orang yang tidak sengaja bertemu dalam satu lokasi yang sama, ruang bioskop. Diantara bangku merah yang disusun panjang berderet, dalam suasana gelap gulita, suara musik keluar dari pengeras suara yang ditempel pada dinding-dinding. Ine Febrianti sebagai “Nayla Kiran” muncul dua dimensi di layar datar, berperan menjadi seorang akrtis baru yang baru saja mengambil hasil pemeriksaan laboratorium masuk ke mobil mini cooper berwarna oranye atau kuning, saya nyaris lupa karena setting latar waktu dalam sinema tersebut adalah malam hari.

Nayla menghela nafas, berdialog sebentar dengan bangku kosong disebelahnya, berpura-pura bahwa ibunya ada disebelahnya. Kemudian menyalakan mobil, perjalanannya dimulai, seiring dengan dimulainya cerita dalam sinema ini. Nayla hamil, sebelas minggu, oleh pacarnya Ben (Paul Agusta). Menyetir mobil menyusuri jalan-jalan Jakarta seorang diri, memikirkan nasib kandungannya, nasib dirinya, dan nasib orang-orang disekitarnya. Sebelum memutuskan apa yang hendak ia lakukan dengan kandungannya. Sinema tersebut hanya berdurasi kurang lebih 80 menit tapi menggambarkan realita yang dihadapi perempuan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi mungkin juga di seluruh penjuru dunia. Tentang dirinya, nasibnya, tubuhnya, dan keputusannya.

“Mengapa perempuan hamil harus menikah?” kalimat itu keluar dari mulut Rengganis si Cantik, tokoh fiksi dalam Novel Eka Kurniawan berjudul Cantik Itu Luka. Rengganis si Cantik meraung karena dipingit oleh keluarganya yang begitu tahu bahwa gadis ini, perempuan tercantik di Halimun. Perempuan, entah diberkahi atau dikutuk memiliki tabung kehidupan dalam dirinya. Persoalan tubuh perempuan milik siapa, tidak kunjung habis dalam diskursus feminisme, persoalan itulah yang kita hadapi setiap harinya. Dan isu aborsi, isu yang selalu menjadi buah simalakama bagi perempuan yang dipecah menjadi kubu pro-choice dan pro-life.

Carol Gilligan dalam In Different Voice memaparkan tahapan perkembangan moral perempuan yang dianggapnya tidak bisa disamakan dengan laki-laki. Teori ini mengkritik teori gurunya, Lawrance Kohlberg, yang menyatakan bahwa perkembangan moral anak laki-laki membuat anak laki-laki lebih dewasa daripada anak perempuan. Hal ini ditentang oleh Gilligan yang dalam penelitiannya menggunakan sample dari perempuan yang hendak melakukan aborsi dan bagaimana tahapan-tahapan moral yang dilaluinya hingga menghasilkan keputusan final. Penelitian tersebut menghasilkan beda antara etika kepedulian (ethics of care) dengan etika keadilan (ethics of justice). Etika kepedulian milik perempuan, memperlihatkan bahwa dalam mengambil sebuah keputusan, laki-laki akan mengevaluasi dan memilih apa yang dianggap “benar”, sedangkan perempuan akan berada dalam dilema, “keputusan yang tidak menyakiti siapapun”.
 
Saya rasa etika kepedulian dalam teori feminis yang hendak dipaparkan Djenar Maesa Ayu sebagai sutradara dan produser film ini, dimana Nay, dalam mobilnya, mencoba membuat keputusan-keputusan moral yang tidak dilandaskan pada apa yang “benar” saja. Moral yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari adalah moral laki-laki, sedangkan moral perempuan, berusaha dicari sepanjang perjalanan yang dilalui Nay, untuk menentukan apa yang harus dilakukan dengan masa depannya, tanpa melukai siapapun, bayinya, kariernya, teman-temannya, pacarnya, pria lain yang suka padanya, dan terakhir dirinya sendiri.

Tidak hanya etika kepedulian yang bisa kita temukan dalam cerita di sinema tersebut, sinema itu juga memaparkan bagaimana perempuan. Selalu dilihat dalam dua kelompok, perempuan baik-baik dan bukan perempuan baik-baik. Gilanya, hal tersebut diungkapkan bukan oleh laki-laki, melainkan oleh perempuan, pada cerita dalam sinema ini diberikan peran dari Ibu dari Ben, pacar Nay yang telah menghamilinya, dalam dialog di telpon. Kehidupan akrtis, perempuan mandiri, dan perempuan yang tidak perawan bukan perempuan baik-baik, tidak peduli apakah dia tidak perawan karena diperkosa atau memang perempuan penggoda. “Perempuan yang sudah ‘rusak’ itu bersikap sok manis dan berpura-pura menjadi korban, padahal ia hanya mengincar pria mapan untuk bertanggung jawab”, begitu kiranya dialog yang diungkapkan Ibu Ben ketika Nay meminta pertanggungjawaban Ben atas kehamilannya.

Perempuan yang terjebak dalam dikotomi Bitch dan Angel selalu serba salah dalam menghadapi kekerasan seksual. Ketika mengalami perkosaan atau pelecehan, sebagai korban, ia selalu disalahkan hingga dua kali diperkosa. Diperkosa oleh pelaku, dan diperkosa oleh masyarakat. Dan seringkali perkosaan yang dilakukan masyarakat yang justru membuat perempuan hancur dan merasa dia tidak ada harganya lagi. Perkosaan juga menjadi kasus yang serba salah. Dalam cerita di sinema ini, Nay juga adalah korban perkosaan yang dilakukan oleh pacar ibunya, tetapi ibunya enggan melaporkan kasus ini ke polisi karena memikirkan masa depan Nay yang nantinya akan memperoleh cemoohan dari masyarakat apabila mengetahui bahwa Nay adalah korban perkosaan.

Sekelumit permasalahan perempuan berusaha diungkapkan dalam sinema ini. Saya sengaja mengesampingkan hal-hal yang berbau sinematografi karena jelas itu bukan bidang saya. Seperti yang dipilih Djenar, fokus dengan seni sebagai bidangnya berupaya memberikan suara, pengalaman perempuan, kaumnya, dalam media film. Feminisme hadir guna menjadikan pengalaman perempuan sebagai Ilmu. Akhirnya dalam Nay, saya rasakan bahwa Djenar berusaha mengungkapkan pengalaman perempuan ditengah nilai patriarkis. Ethics of care yang selalu dianggap sebagai pengambilan keputusan yang emosional dan jauh dari rasional. Dikotomi bitch dan angel, perkosaan yang seperti gunung es. Nasib perempuan dalam negara hukum yang menganut hukum yang seksis diharapkan melalui film ini, semoga bisa menjadi baik

Gadis Penjual Jeruk

Jika para penjual jeruk berkumpul dan mengutarakan hal yang sama setiap waktu dan setiap hari, maka dunia ini akan menjadi  tempat paling bising yang penuh dengan keluhan harga jeruk yang mahal, jeruk yang busuk, jeruk yang kurang manis, jeruk yang terlalu asam, jeruk yang tidak layak dan pembeli yang menyebalkan. 
Maka jadilah gadis penjual yang biasa saja. Yang diam saja meskipun apa-apa yang ada dalam keranjangnya mendapat banyak masalah. Yang merawat sebaik-baiknya jeruk-jeruk yang dia punya. Yang memperbaiki dapur rumahnya  menjadi tempat paling apik dan terbaik untuk menyimpan keranjang dan jeruknya. Apapun yang menderanya, hanyalah persoalan muka yang bisa diselesaikan di dapur, di belakang punggung orang-orang.

Seorang gadis penjual jeruk yang hari itu didatangi seorang pembeli. Tak begitu lama si pembeli menimbang dan menaruh baik-buruk menarik-tidak menarik jeruk-jeruk itu. Kemudian transaksi mereka berlanjut di jendela. Suasana yang berhasil si pembeli ciptakan menyebabkan si gadis melupakan keranjang, jeruk dan dapur di rumahnya. Mulanya ia bersedia memberikan tangannya, dari tangan si gadis ingin menaruh kepalanya di bahu badan pejal si pembeli. Cerita tidak berhenti di jendela dengan hanya duduk-duduk saja. Di hari yang lain, jendela sudah bisa mereka lompati, dari tangan si gadis yang lemah muncul kekuatan yang tak di duga. Dia maka tahu bahwa tak ada gunanya membangun dapur saja di rumah. Si beranda rupanya minta dipercantik pula. Ia mulai menanti kedatangan sang pembeli. 

Sepahit-pahitnya menelan pil pahit kemelekatan tidak ada yang lebih menyakitkan melihat sang gadis dibawa begitu saja oleh sang pembeli hidung belang. Kemudian sang gadis penjual jeruk berlalu mengikut dan meninggalkan keranjang dan jeruk-jeruk yang membusuk.
Gadis penjual jeruk sudah kehilangan jeruk dan keranjangnya. Saya mulai sedih.

Pembeli mengajaknya kembali lagi ke jendela, katanya dia rindu. Dasar dia tak menunggu sampai semuanya terasa biasa saja. Lalu dia bilang inilah yang namanya rasa, jeruk yang manis itu sampai pada orang yang salah.
Si gadis kini semakin merajalela. Sang pembeli telah memilikinya... manisnya jeruk, manisnya wajah si gadis, manisnya merasai.

Sang gadis kini telah hilang keranjangnya, jeruknya, dapurnya, berandanya dan dia bukan gadis penjual jeruk lagi, bukan sang gadis lagi...


sampailah pada batas sensitif moralitas wanita.....
saya ikut merasakan kecewa, marah, dan sedih. 
Karena ternyata yang kamu punya hanya ego dan nafsu yang kamu bagi dengan mata uang cinta. Jika memang pria adalah pemimpin, maaf. Bagi saya kamu tidak pantas mendapatkan jeruk manis.

Silahkan menjadi penabur, namun taburkanlah iman dan kebaikan kepada dia yang kamu cintai dan ingin kamu jadikan istri. Percuma membicarakan kebenaran kepada orang-orang yang mengelilingimu, karena kebenaran ada dalam tanggungan. 



Kebodohannya pada hari itu adalah, membiarkan sang pembeli membawa tangannya ikut serta dibawa pergi. Bukan jeruk manis yang telah lama dia peram, ia jaga supaya manis dan layak dibeli.



*saat tersesat dalam labirin nafsu, saat menempuh jalan yang berbeda, kendaraan yang paling agung bagi wanita adalah iman. Semoga Tuhan selalu menyanyangi ia, yang sedang lupa memarkir kendaraannya..

ADA

Yang ada tetaplah ada, sesederhana apa?

Yang terpenting adalah kelahiran atas semuanya.Ya ada.

Sesederhana aku menyayangimu, tanpa syarat tanpa mengharap.

Seandainya jiwa kita terpaut beririsan, sesederhana bagaimanapun terlihat, aku menyayangi kamu yang menyayangi dirimu sendiri.

Yang tahu bagaimana menyembuhkan lukamu sendiri, yang mampu mengurus dirimu sendiri, dan yang tahu akan jadi apa kamu sendiri nantinya. Yang menanamkan kebaikan demi ingin menuai kebaikan pula.

Lalu aku tahu, itulah keterampilanmu menyayangi mencintai.

Suatu hari aku akan menemukanmu, kamu akan menemukanku, kita bertemu.

Pada suatu yang sederhana, diawali dengan doa. Pada suatu waktu yang kita belum tahu. Pada semua hal yang menjembatani pertemuan kita.

Mulai hari ini aku akan bersungguh-sungguh menyayangi diriku sendiri, keluargaku, sahabat-sahabatku, guru-guruku, dan semua orang yang mencintai hidupnya.

sampai jumpa nanti ya!

MENEMUKAN KEMBALI

Akhir-akhir ini saya merasa, ada yang salah dengan tubuh saya. Ada yang saling menutupi di dalam diri saya. Yang tidak bisa saya buka lapis demi lapis oleh diri saya sendiri. Hati saya seperti kehilangan garis orbitnya, berhenti berputar. Seperti terpecah alirannya, hati saya diam tak mengalir. Medan saya terkadang terlalu lebar, kemudian sempit dan tinggal sebuah titik. Saya seperti dipermainkan oleh impuls saya sendiri. Saya sadar tetapi seperti tidak sadar. Saya hidup tapi seperti tidak hidup. saya bergerak, terus berpindah tapi saya tetap merasa semua ini stagnan tak beralih mengalir.

Tiba-tiba saya rindu melompat, meloncat, terjun bebas. Saya ...
Saya kemudian menangis dan terduduk memeluk lutut. Kehilangan terbesar adalah saat saya kehilangan makna. Saya mampu memenuhi kebutuhan badaniah saya, namun jiwa saya miskin dan kering. Semakin banyak tanda-tanda yang saya baca, saya merasa semakin hancur.

Namun............
"kehancuran adalah awal kesadaranmu"
tanpa perlu memperpanjang rasa tidak nyaman saya segera menelusup impuls kesadaran sendiri.

Kemudian saya yakin bahwa energi negatif telah mengungkung saya, terpuruklah kemudian saya dalam fase ketidakteraturan.

Zaman pemurnian katanya baru saja dimulai...
kemudian saya sepakat dengan diri sendiri, pencarian dan keberanian menemukan segera bukan hanya menjadi angan.
 

Catatan Gadis Puisi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review