Sebab rahimku mewujudkan semua mimpi-mimpi burukmu. sementara ramalanmu pagi ini bernas tentang semesta yang begitu mengharukan, pipiku menyemburkan padamu lebih banyak tamasya ke dalam kelenjar air mata.
barangkali kamu masih merindukan wangi tubuhku.
apa kamu masih tak suka tidur?
sebab kini ia terlalu rakus mempertemukan kita di sebuah meja makan yang menyajikan sepotong waktu dan potret pasar malam. denting-denting sendok dan pisau di meja makan yang menyisakan rasa lapar dan mabuk ruang. aku lebih suka muntah di waktu subuh. sebab baunya akan kamu bawa sampai matahari begitu tinggi dan kamu berhak mengutuki ujung-ujung jari kaki yang memelintir arah mata anginmu untuk berbalik tanpa suara. ingatan tentangmu yang merangkum dunia dalam sebuah kecupan yang menggigilkan.
di taman itu, wangi puisi dan gerimis masa lalumu yang amis masih menguap di rerumputan. ciuman pertama tidak melulu mendebarkan, hanya rekaman perasaan yang merenggut lebih banyak kebebasan. sebab masing-masing dari kita telah jatuh cinta pada kebebasan yang serupa; kita merayakan sebuah perpisahan! aku memeluk laki-laki yang lain, dan kamu memberi kecupan perempuan yang lain: dan masing-masing kita akan merayakannya dengan sebuah pesta kembang api di halaman terakhir buku puisi yang kau pinjamkan.
lucunya, rahimku terus menyemburkan kemarahan.
adakah aku berhak mencuri lebih banyak pelukan di waktu malam pada punggung laki-laki yang menyeduhkanku kopi di waktu pagi? barangkali aku tetap serupa ujung sumbu letupan yang terus direkatkan dalam genggaman tanpa perlu mereka melihat bagaimana kita berikatan. sebagaimana kita pernah berjalan beriringan, barangkali aku memang akan terus menjadi perempuan yang disembunyikan.
Kamu yang ingin menjadi pesulap: menghilang tanpa suara bahkan detak dengan aromamu tak mampu ku baca.
Rahimku telah menyemburkan terlalu banyak kemarahan untuk sebuah gagasan tentang kasih sayang
barangkali kamu masih merindukan wangi tubuhku.
apa kamu masih tak suka tidur?
sebab kini ia terlalu rakus mempertemukan kita di sebuah meja makan yang menyajikan sepotong waktu dan potret pasar malam. denting-denting sendok dan pisau di meja makan yang menyisakan rasa lapar dan mabuk ruang. aku lebih suka muntah di waktu subuh. sebab baunya akan kamu bawa sampai matahari begitu tinggi dan kamu berhak mengutuki ujung-ujung jari kaki yang memelintir arah mata anginmu untuk berbalik tanpa suara. ingatan tentangmu yang merangkum dunia dalam sebuah kecupan yang menggigilkan.
di taman itu, wangi puisi dan gerimis masa lalumu yang amis masih menguap di rerumputan. ciuman pertama tidak melulu mendebarkan, hanya rekaman perasaan yang merenggut lebih banyak kebebasan. sebab masing-masing dari kita telah jatuh cinta pada kebebasan yang serupa; kita merayakan sebuah perpisahan! aku memeluk laki-laki yang lain, dan kamu memberi kecupan perempuan yang lain: dan masing-masing kita akan merayakannya dengan sebuah pesta kembang api di halaman terakhir buku puisi yang kau pinjamkan.
lucunya, rahimku terus menyemburkan kemarahan.
adakah aku berhak mencuri lebih banyak pelukan di waktu malam pada punggung laki-laki yang menyeduhkanku kopi di waktu pagi? barangkali aku tetap serupa ujung sumbu letupan yang terus direkatkan dalam genggaman tanpa perlu mereka melihat bagaimana kita berikatan. sebagaimana kita pernah berjalan beriringan, barangkali aku memang akan terus menjadi perempuan yang disembunyikan.
Kamu yang ingin menjadi pesulap: menghilang tanpa suara bahkan detak dengan aromamu tak mampu ku baca.
Rahimku telah menyemburkan terlalu banyak kemarahan untuk sebuah gagasan tentang kasih sayang
cadas boss...
ReplyDelete