Tentang Kita dan Rentang Kota

Selalu ada yang salah sekaligus benar di hadapan perpisahan. Seperti orang diabetes yang menjauhkan gula dari lidah, langkahku meninggalkanmu tertahan antara kesibukan dan kerinduan. Orang-orang butuh rasa manis – selain telepon genggam – untuk bertahan bahagia. Mereka datang ke kafe dan memesan apa saja yang tidak pahit. “Kopi hanya untuk penyair atau hati yang patah atau kedua-duanya.” Mereka tidak tahu, puisi paling manis lahir dari kepahitan semacam itu.
Kubayangkan jejak yang ditinggalkan kereta mengalir serupa sungai dan aku ikan yang berenang-tenang melawan arus. Riak-riak air membawaku menjauh setiap kali kurasakan kau telah dekat. Kebisingan kota memotong batang-batang hutan, mengeringkan sungai, dan menjadikan kau kehidupan yang tersisa. Aku tinggal tulang-tulang ikan berenang-senang dalam genangan puisi ini.
Sejak kepergianku, suara terdengar bisu. Kata-kata kita diam-diam meneriakkan diri. Mereka tak ingin kalah dan merasa bersalah melawan rindu. Jika ada yang harus kalah, biarkan itu selalu aku dan memilikimu jadi satu-satunya rasa kemenangan.
Aku tidak pernah ingin punya banyak hal. Dari semua yang tidak aku miliki, langit adalah perihal yang bisa aku bagi denganmu. Segala yang hijau semisal pohon atau anak muda adalah ketidakpantasan. Mereka mudah terbakar dan menghembuskan asap. Aku juga tidak ingin memiliki jarak. Ia dosa yang hanya bisa ditebus dengan kecupan. Sementara bibirmu tak cukup dekat untuk menjangkau keningku.
Dalam rentang kota yang jauh, bisa saja segala hal yang manis di mataku mungkin tak mampu kucegah jatuh sebagai sesuatu yang asin di bibirmu. Setiap malam aku berdoa, semoga kau tidak mengidap hipertensi.
 

Catatan Gadis Puisi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review