PANTULAN BARU

Aku butuh pantulan-pantulan baru sebab kepalaku penuh. Arus besar tanpa arah hanya membentuk benturan-benturan saja di dalam tempurung. Tidak. Tidak ada nada. Tidak ada irama. Hanya gemuruh yang mengganggu dan pada saat-saat tertentu ketika ia tak bisa terbendung lagi mereka akan menyuruhmu untuk tidur yang berkepanjangan (yang bagiku terdengar menyenangkan dan begitu damai tapi tidak ingin kulakukan dulu saat ini).
Aku berhenti menulis di sini sebab aku pernah berusaha bertingkah layaknya orang-orang seusiaku: jika menulis, menulislah dengan teratur dan dewasa. Dengan tata krama dan alur cerita yang jelas, serta sumber liiterasi agar argumen-argumenmu tidak ditertawai. Namun sayangnya, tekad semacam itu hanya memperburuk kecamuk badai yang semakin hari kupikir hanya akan mengancam sinapsis-sinapsisku yang krisis.
Karenanya aku senang bertemu dengan orang-orang asing. Aku pernah merutinkan diri bertemu dengan orang-orang baru yang tak kukenal sama sekali dan menceritakan apa saja. Sayangnya aku tak lagi bisa serta merta mempercayai orang begitu saja, sebab mulut di tahun-tahun ini bisa juga berarti mencicil maut. Aku mencabut jadwal itu dari catatan kalenderku dan membiarkan diri berbenturan dengan orang-orang yang itu-itu saja. Kadang aku juga bertanya, aku ini mudah bosan atau hanya sedang berusaha melarikan diri dari kesepian.
Karenanya aku kembali lagi ke sini. Aku sedang tidak menulis untuk siapa-siapa kecuali diriku sendiri agar ia bisa menemukan dengan liar pantulannya yang lain. Aku tak bisa menerus bangun pada pukul 3-4 pagi dengan peluh dan kepala yang acak lalu gagal berfungsi sepanjang hari. Mereka memintaku beristirahat tapi otak kita tidak bisa diminta rehat. Aku berkejaran dengan tenggat dan dunia seperti berjalan begitu tergesa-gesa seakan sekarang memang hanya untuk sesaat.
Suatu waktu aku ingin belajar melepaskan diri dari tubuhku lalu menemui diriku sendiri. Mengajaknya minum kopi atau menyesap teh panas daun dan bunga yang diberikan seorang kawan sambil bertanya, apakah kamu memang mampu melalui hari? Kita sudah terlalu banyak berlari tanpa pernah tahu pasti apa yang kita cari.

Kepada April


Kita beranjak lagi. Hanya tersisa sebilah pisau lipat yang tergeletak, kelelahan memahat kesalahan pada masing-masing tubuh kita. Tak berdarah, tak pula terpercik amarah. Apalah arti salah benar dan surga neraka adalah juga sebagian kompetisi untuk memancing tawa antara Tuhan dan Dewa-dewa. Nafas kau tahan, kepala menjadikan tanda tanya sebagai tawanan. Doa-doa kembali duduk di tepian bibir pemiliknya. Menunda kelana. “Kita memilih untuk memainkan peran yang luput dari pandang dan cahaya. Kau jadi tanah bagi langit, dan biar aku saja yang jadi hujannya.” Karena tak ada salah dan benar atas cinta. Begitukah harus kita menyebutnya? Karena acapkali yang aku atau kau temui adalah rumah yang lampunya selalu menyala, tapi tak seorang pun tinggal disana. Kemudian suatu malam, diantara lengan yang melingkar bergantian pada bahu dan pinggang itu aku menemukan kata yang bahkan mungkin ketika ku ceritakan padamu sekali lagi, kita tak pernah tahu apa maknanya. Peduli setan pula dengan makna. Kita hanya orang yang terlanjur bodoh dan mabuk bagi mata-mata yang tak pernah melepas pandangnya dari kita. “Tapi, biarkan saja mereka tetap melihat apa yang ingin mereka percaya.”  

Jakarta , 27 Maret 2019 

Dini hari...
 

Catatan Gadis Puisi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review