HALLO 19 TAHUN!

Dear Aku,
Selamat mengulang tanggal 27 Agustus lagi, semoga dapat menuai banyak hal yang terdeskripsi melalui pendewasaan dalam kadar yang lebih besar. Bukan tentang usia yang terus tereduksi tanpa kita bisa apa-apa, karena sebenarnya kita telah melakukan apa saja yang beberapa beresensi lebih untuk kita, untuk sesama, dan untuk rasa. Meskipun beberapa membuat kita memelihara kesakitan yang selanjutnya kita harus meratapi usia. Ada hikmah megah di sela-sela segalanya, kupastikan itu. Tepatkan dan pantaskan saja apa-apa yang mampu kita buat, kita narasikan, atau kita rasai. Karena pada dasarnya, usia sudah membawakan banyak masa yang bisa kita habiskan untuk apa saja, dengan siapa saja, dan dengan cara apapun yang kita ingini.

Dear Aku,
Selamat menjalani pilihan-pilihan yang telah dibuat, menjalani segalanya yang konsekuensi telah peringatkan dari awal. Dan membuat pilihan-pilihan yang lain lagi selama Tuhan masih berkenan memberi segalanya yang bisa kita pilih salah satu, salah duanya. Mari berterima kasih, masih diberikan banyak pilihan dan masih dimampukan memilih. Semoga segalanya mampu membaikkan. Semoga Tuhan memudahkan jalan atas pilihan-pilihan kita.

Dear Aku,
Jika boleh kita meminta satu hadiah yang mungkin Tuhan mau berikan, kita mungkin bersepakat meminta agar Tuhan memperlihatkan jawaban-jawaban atas pertanyaan kita tentang masa depan. Tentang hal-hal yang kini masih samar agar Tuhan mau jelaskan benar-benar. Lalu, kita hanya mampu menunduk, terisak merapal doa atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Berharap paling baik dari sekedar baik-baik saja.

Dear Aku,
Selamat atas perayaan dalam diam atas rasa yang menumbuh sampai kita setua ini. Semaraknya semoga membahagiakan semesta, dan bahagianya mendamaikan segalanya. 

Dear Kamu
Ada bahagia yang bertebaran dari lantai hingga langit-langit ruangan ini. Dinginnya suhu tak lagi terasa karena kau memberikan hangat pada cinta yang banyak. Terimakasih atas percakapan kita yang panjang diiringi lagu-lagu cinta kampungan yang maknanya habis dilucuti zaman.
Kau yang di seberang meja. Menyeruput sisa kopi yang tak lagi nikmat. Tawamu memecah debar. Seiring rasa syukur yang mengalir tak habis-habis.
Dan suatu hari nanti cinta memuai tak semudah ini, maukah kau berjanji untuk berjuang menemukan hangatnya lagi?

Untuk kau, yang terlalu sakral untuk kusebut namanya.

AGUSTUS KELABU

Agustus tahun ini berbanding terbalik dengan tahun kemarin. Musim dingin nyatanya datang lebih awal. Kali ini dinginnya membuat gigil yang berkepanjangan. Meremukkan asa jiwa-jiwa yang merindu berbincang dengan matahari.


Mendung terus menggantung, langit berubah gelap dan kelam. Itu adalah tanda kematian bagi semua orang. Sedang kematianku sendiri sudah kau tanda tangani sejak malam itu.

Aku memeluk lututku sendiri. seseorang yang ku rawat raut mukannya dalam lubukku. melempakanku ke daasar jurang yang dingin bersama remah-remah hati.  Aku sekarat. Ini lebih mematikan dibanding meminum racun yang telah terjadwal.

Dan tiba-tiba aku merasa seperti kucing schrodinger di dalam boks tertutup.

SISA-SISA PERCAKAPAN

Awal adalah akhir, dan akhir adalah awal. Entah mengapa tak pernah bisa kita pahami dalam elegi fatamorgana yang menyesakkan. Sungguhpun matahari bersalin rupa dengan sang bulan, takkan mampu juga kita pahami awal dan akhir. Karena kita memang tak pernah terhinggapi jentik merah jambu yang memabukkan, yang membuat awal dan akhir saling berkaitan.

Aku pernah berkata satu, kaupun berkata satu. Aku mengartikannya dua, tapi kau tetap mengartikannya satu. Lidah dan ucapan bagai dua mata pisau yang saling beririsan. Layaknya makna yang selalu ada dibalik pertanda, begitu juga kita, yang tak pernah lelah menebar pertanda di rerumputan senja, walau tak sekalipun kita mampu mengemasnya.  

Mungkinkah ini awal?

Pada mulanya kita biru, lalu berubah menjadi abu-abu. Hingga akhirnya terbelah menjadi merah dan hijau yang sulit dibiaskan kanvas putih di malam minggu. Semua orang pernah bertanya: mungkinkah merah dan hijau melebur jadi satu? Tanpa jawab, kita hanya bergeming dan merenung diantara meja dan buku yang tertata.

Tanpa sadar, ketika kita larut dalam renungan tak berdasar, sang waktu mulai menari menuju batas pengharapan. Batasan yang menghasilkan jawaban tanpa pertanyaan, yang lebih memabukan dari percakapan tak beralasan.

Mungkinkah ini akhir?

Pada akhirnya kita hanyalah sisa-sisa percakapan, yang terbuang dari lembah pengharapan, dan jatuh ke palung kesendirian. Sisa-sisa percakapan, yang telah menemukan muara pada samudra lepas khatulistiwa, beralaskan sampan bertajuk jawaban.

Kini kita hanya dapat berpegang pada rindu dan durja dalam  senja jingga. Sambil menyusun garis merah jambu yang telah menjelma menjadi kelabu, yang menghubungkan awal dan akhir dari elegi fatamorgana masa lalu.
Dan sekarang aku sedang rindu.
 

Catatan Gadis Puisi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review