Dari Mana Datangnya Benci ?



Sewaktu kecil, kira-kira kelas tiga SD, saya pernah punya pengalaman yang berhubungan dengan kebencian, tidak hanya itu masuk periode SMA dan fase perkuliahan pun saya menemui kasus yang sama, yang sampai sekarang masih gagal saya pahami. 

Pada bangku SD,  Saya merupakan murid pindahan. Saat itu saya satu bangku dengan mawar yang juga murid pindahan. Entah awalnya darimana, teman satu kelas saya namanya melati membenci mawar sampai ke ubun-ubun. Saya sungguh bingung kenapa melati bisa membenci mawar sampai segitunya. Dia menghasut teman-temanya untuk ikut serta membenci melati, termasuk menghasut saya. Tapi saya justru memilih berteman dengan dia. Dan saya pun ikut dijauhi oleh mereka.

Kedengarannya sederhana. Konflik anak kecil ingusan, konflik remaja. Tapi sesungguhnya pengalaman itu cukup traumatik untuk saya. Saya adalah orang introvert, saya punya kecenderungan bersikap pasif jika ditekan. Saya masih ingat bagaimana rasanya harus diam seribu bahasa, berusaha menghilang dari pandangan semua orang, sementara mawar menebar racun kebencian di udara.
Dari mana datangnya kebencian sehebat itu di otak seorang anak, remaja bahkan dewasa?  Dari mana datangnya benci? Darimana datangnya kapabilitas seorang manusia untuk membenci? Kebencian, saya kira, bukanlah sesuatu yang bersifat primal. Kalau rasa takut, itu berbeda. Rasa takut adalah salah satu mekanisme pertahanan diri paling purba dari makhluk hidup.
Rasa takut adalah sesuatu yang secara inheren ada dalam sistem saraf dan hormon makhluk hidup, yang melahirkan flight or fight response. Adrenalin. Kabur atau melawan. Demi bertahan hidup. Tapi rasa benci? Bisakah hewan membenci?  Pikir punya pikir bahwa rasa benci erat kaitannya dengan rasa superioritas, perasaaan “lebih” dari yang lain.

Penjelasan pertama: superioritas bisa lahir dari trauma. Tapi ini bukan mekanisme trauma yang biasa. Trauma adalah sesuatu yang dapat melahirkan ketakutan yang sangat besar. Setiap hewan bisa merasakan itu. Seekor anjing yang trauma pada manusia yang menyakitinya akan berusaha menghindari manusia, mengginggit kalau perlu.
Tapi pada manusia, trauma melahirkan sesuatu perasaan yang lain: perasaan ingin mengalahkan, ingin menghancurkan. Ingin menjadi lebih superior dari pihak yang dulu menggunakan superioritasnya untuk menindas dan menghancurkan, lalu pada gilirannya dapat menggunakan superioritas itu untuk balik melakukan penindasan dan penghancuran, setara atau malah kalau bisa lebih dari yang dulu diderita. Mata dibayar mata, gigi dibayar gigi. 
Trauma melahirkan dendam. Dan dendam adalah kapabilitas manusia, bukan hewan. Untuk teori pertama saya tidak ambil dari buku manapun.

Teori saya yang kedua adalah superioritas yang lahir sebagai dirinya sendiri. Sebuah teori yang  saya ambil dari komentar-komentar negatif di salah satu instagram artis. Padahal kemungkinan besar mereka tidak pernah dengan tangan pertama mengenal artis itu, mengetahui kehidupan pribadinya, bicara dengannya, bergaul dengannya, mengetahui isi kepalanya dan pandangan-pandangan hidupnya.  Bagaimana mau mengenal jika mereka terus menghindar, seperti orang yang takut pada bayangan.
Pertanyaannya adalah kalau boro-boro pernah disakiti lalu dendam, sedangkan mengenal saja tidak. Lalu dari mana datangnya benci itu? Orang yang merasa lebih superior dari yang lain mudah untuk mengobyektivikasikan mereka yang lain itu – menganggapnya sebagai benda yang bisa diapakan sja, mau itu dimiliki, diberi label harga, dirusak, dikucilkan, dieksploitasi, dilaknat dan seterusnya.
Superioritas juga bisa melahirkan sikap jijik yang tidak beralasan. Karena merasa lebih baik dan lebih suci dari yang lain, kita menjadi jijik dan merasa dikotori oleh kehadiran yang lain itu. Seperti sampah yang mengotori rumah. Selain itu, sikap superioritas juga bisa berkembang menjadi sikap insecure yang didasari kepongahan: masa sih kita yang jauh lebih berharga ini layak disaingi atau layak disamakan dengan yang lain itu? Bermula dari jijik, menghindari, mengutuk, takut disaingi, takut digulingkan, lama-lama berubah menjadi kebencian. Menjadi keinginan memusnahkan dan membinasakan.

Seperti kata Musdah Mulia, seorang feminis Muslim:
Only God has the right rule whether people are wrong or not, faithful or not. The problem with our society is that there are too many people who place themselves as God”


Memang sih bukan Cuma salah (intrepretasi) agama. Bisa ras, seperti fasisme versi Hitler. Bisa ideologi politik, seperti “bahaya laten komunis” di Indonesia. Bisa juga pola pikir bias gender yang memuja maskulinitas. Ada banyak cara untuk menjadi fasis. Semua orang bisa menjadi fasis versinya sendiri. Kuncinya Cuma satu: merasa lebih superior dari yang lain.

Saya menjadi ingat, Anggun C Sasmi menulis mengenai love is love. Bahwa cinta adalah hak asasi semua manusia. Tapi kadang tidak sesederhana itu. Menurut saya, cinta tidak lahir jika tidak didasari oleh kesetaraan. Seseorang yang menganggap orang lain tak sederajat dengannya tidak mungkin bisa mencintai orang itu. Mungkin bisa merasa memiliki. Mungkin bisa melindungi. Memberi perhatian, bahkan bersikap posesif. Tapi itu bukan cinta yang sesungguhnya. Cinta adalah sesuatu yang sifatnya timbal balik, memberi dan menerima, menginisiasi dan merespon. Dan agar prosesi timbal balik itu tulus dan alamiah, kedua belah pihak harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
Benci mungkin terlahir dari awalnya tampak seperti rasional, atau pembenaran sehingga seolah rasional. Tapi benci akan selalu berkembang menjadi sesuatu yang irasional. Dan jika gumpalan irasionalitas itu semakin besar, maka akan seperti bola salju yang berguling. Jejak ketakutan dan kebencian berikutnya yang ia tinggalkan akan  semakin panjang dan lebar. 

Lantas, sampai kapan kita akan seperti ini? Sampai kapan kita melahirkan generasi pembenci, yang memuaskan ego dengan menendangi bangku orang-orang yang mereka anggap lebih rendah dari mereka? Sampai kapan kita tahan menjalani hidup penuh dengan parade kebencian? 

Apakah harus menunggu sampai kita semua habis karena saling bunuh?

Saya teringat sebuah pernyataan, katanya kemustahilan kedua setelah berharap menjadi Tuhan, adalah berharap disukai semua orang.
 

Catatan Gadis Puisi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review