i)
Barangkali pertemuan bukanlah sebuah kemewahan yang perlu dirayakan berlebihan. Pertemuan adalah kita tak sengaja berada di sisi jalan yang sama pada sebuah perempatan. Saling sapa barang sebentar. Menanti lampu merah yang segera usai. Setelah itu membunyikan klakson lantas pamit melanjutkan perjalanan. Tiada guna jerit heboh dan saling berteriak. Sebab apapun selalu lesap di antara deru mesin dan arus waktu. Ribut dan keriuhan adalah segala hal yang bernama kesia-siaan.
(ii)
Begitu pun dengan sesuatu yang kita sepakati dengan nama perpisahan. Dia sudah dituliskan jauh sebelum tangisan pertama manusia di dunia pecah. Malaikat yang dulu mendampingimu, dan malaikat yang mengunjungi rahim ibuku, pernah diam-diam bersepakat untuk mempertemukan aku denganmu barang sejenak hanya untuk dibubarkan kemudian.
(iii)
Aku dan kamu adalah kaum Baginda Raja Nimrod. Bermodal keangkuhan yang begitu besar kita coba melanggengkan pertemuan, membangun menara megah di bawah satu tujuan. Tanpa kita sadari semua akan berakhir dengan perceraian. Yang paling menyakitkan, semua kata masing-masing dari kita menjadi asing belaka. Aku terjatuh dalam kegagapan berbicara. Kamu terdiam dan tak bisa mendengar apa-apa.
(iv)
Sejak itu aku tahu bahwa bahasa adalah palsu. Buktinya tidak juga ada bahasa yang mampu mempersatukan orang-orang yang telah ditakdirkan untuk berpisah. Termasuk aku dan kamu. Kita. Dan segala sebutan yang pernah kamu sematkan untukku. Mereka fatamorgana di jalan raya yang amat terik. Fana yang lekas hilang seketika kita datang.
No comments:
Post a Comment