Pencarian
Translate
Labels
- Agustus (1)
- Bumi Manusia (1)
- Goresan Pena (21)
- Jurnal (2)
- kelabu (3)
- Kewarasan (1)
- Makalah (2)
- Obrolan Nyantai (8)
- puisi (15)
- Quote (3)
- short story (8)
- ultah (1)
- wanita (4)
TIBALAH RASA LELAH, SAKIT DAN JENUH BERKUMPUL
Izinkan 100.000.000.000 sel dalam tubuh ini merasainya benar-benar.
Setelah itu saya akan memerintahkan dengan tegas kepada setiap sistem organ, untuk mengirimkan permintaan maaf kepada semesta. Ternyata saya cuma manusia biasa.
Patah hati musim ini adalah kehilangan daya untuk mengerti diri sendiri. Membiarkan setiap sel mati digerus lempeng kebodohan. Perasaan asing dan ditinggalkan melekat dalam setiap partikel debu yang berterbangan. Terhirup dan mengkontaminasi seluruh bilik jantung. Berdebar-debarlah. Dalam ruang yang saya namai laboratorium saya terhenyak. Sudah lama badan ini meronta meminta dipertemukan dengan jiwanya. Yang bebas.
Lalu terdengar pantulan suara dari dinding yang dingin nan damai. “Selagi kau bukan cadaver, kejarlah jiwamu yang terpisah, dia minta dijemput bukan menjemput. Suatu hari kau akan tahu, pedihnya berjarak dengan ruh dan raga. Kejarlah…”
Saya masih tidak mengerti, bolehkah saya mengeluh dan menikmati keterasingan. Usaha-usaha saya adalah menjangkau bahagia yang paling dekat dan merasai pedih yang paling dalam.
Dan ketika rasa sakit, lelah dan jenuh berkumpul, saya harap semesta telah memafkan saya. Ternyata saya Cuma manusia biasa.
Saya, ditinggalkan, oleh diri sendiri.
Secangkir waktu-waktu yang telah terhabisi nyatanya hanya meninggalkan ampas kepedihan. Bahagia yang dimaksud ternyata absurd. Sepotong kue manis di atas cawan, kecil dan menipu lidah. Membicarakan manis, manis diawalnya saja.
Jika ini tentang sebuah komitmen yang mengikat dua jiwa, maka tibalah kita pada lokomotif yang berbeda. Itu saja.
Setelah itu saya akan memerintahkan dengan tegas kepada setiap sistem organ, untuk mengirimkan permintaan maaf kepada semesta. Ternyata saya cuma manusia biasa.
Patah hati musim ini adalah kehilangan daya untuk mengerti diri sendiri. Membiarkan setiap sel mati digerus lempeng kebodohan. Perasaan asing dan ditinggalkan melekat dalam setiap partikel debu yang berterbangan. Terhirup dan mengkontaminasi seluruh bilik jantung. Berdebar-debarlah. Dalam ruang yang saya namai laboratorium saya terhenyak. Sudah lama badan ini meronta meminta dipertemukan dengan jiwanya. Yang bebas.
Lalu terdengar pantulan suara dari dinding yang dingin nan damai. “Selagi kau bukan cadaver, kejarlah jiwamu yang terpisah, dia minta dijemput bukan menjemput. Suatu hari kau akan tahu, pedihnya berjarak dengan ruh dan raga. Kejarlah…”
Saya masih tidak mengerti, bolehkah saya mengeluh dan menikmati keterasingan. Usaha-usaha saya adalah menjangkau bahagia yang paling dekat dan merasai pedih yang paling dalam.
Dan ketika rasa sakit, lelah dan jenuh berkumpul, saya harap semesta telah memafkan saya. Ternyata saya Cuma manusia biasa.
Saya, ditinggalkan, oleh diri sendiri.
Secangkir waktu-waktu yang telah terhabisi nyatanya hanya meninggalkan ampas kepedihan. Bahagia yang dimaksud ternyata absurd. Sepotong kue manis di atas cawan, kecil dan menipu lidah. Membicarakan manis, manis diawalnya saja.
Jika ini tentang sebuah komitmen yang mengikat dua jiwa, maka tibalah kita pada lokomotif yang berbeda. Itu saja.
Sepotong Sore
Aku sedang mengingat-ingat mengapa pada akhirnya kita bertukar rasa. Mungkin bagi mereka yang tak percaya
cinta akan menudingku berlebihan. Jangan tanya kenapa pada akhirnya aku mengakui bahwa aku jatuh dan
tak mau berdiri lagi pada rasa yang terlanjur lahir. Jangan tanya kenapa
kaulah segala ingatan di antara sibuk, gelisah, rindu, marah, bahagia
yang bercampur akhir-akhir ini. Jangan tanya kenapa aku selalu mendamba
pertemuan dan mengutuk laknat perpisahan yang menyebabkan kita
berjauhan. Jangan tanya kenapa aku membiarkan kau memilihku. Jangan
tanya kenapa semesta berbaik hati memeluk kita dalam doanya. Jangan
tanya sayang. Karena beberapa jawaban justru datang dari diam yang
dipermainkan rasa.
Sore ini aku kehilangan daya untuk tidak memikirkanmu. Memikirkan
apa-apa yang telah kau lakukan. Kau satu-satunya yang tak pernah bosan
menuturkan cinta. Kau satu-satunya yang tak pernah berhenti menemukan
segala indahku. Aku adalah segala yang indah pada matamu.
Sayang, biarkan kali ini aku tak melibatkan segala gengsi. Aku hanya
ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu dalam segala kurang dan lebih. Dalam
segala tawa dan konyol kita, dalam segala sedih dan isak kita, dalam
segala menang dan kalah, dalam segala bangkit dan jatuh,
Izinkan aku menjadi awal dan akhirmu. Menjadi di antara rindu dan
perihmu. Aku takkan pernah pergi terlalu jauh lagi untuk mencari apa itu
kebahagiaan. Karena pada akhirnya aku sadar, ada seseorang yang
berjuang untuk menciptakan kebahagiaan yang istimewa hanya untukku.
Terima kasih telah menjadi dirimu.
RELUNG WAKTU
Apa yang tersisa dari jejak yang dihapuskan pasir kepada air?
Lumbung kaki-kaki yang menimbun ingatan-ingatan perjalanan,
angin dan genggaman hujan
Apa yang terpelihara dari tubuh-tubuh yang datang silih berganti?
menuangkan tujuan mereka masing-masing lalu melaut bersama udara
yang dingin memekakan tas, wewangian, pakaian sementara?
Kita dicurigai orang-orang dan diusir oleh dermaga kita sendiri
Pergi dan pulang hanya omong-omong kendaraan
Membawa gugusan petang
dan akan segera terbenam menjadi malam
Palung hati mengubur perahu-perahu yang mondar-mandir
Di perhentian keterasingan
Menahkodai badai yang kerap datang, sambil membawa tumpukan makanan cepat saji.
Yang hangat sambil menidurkan kita dari piring-piring kebahagiaan, sebentar saja.
Lumbung kaki-kaki yang menimbun ingatan-ingatan perjalanan,
angin dan genggaman hujan
Apa yang terpelihara dari tubuh-tubuh yang datang silih berganti?
menuangkan tujuan mereka masing-masing lalu melaut bersama udara
yang dingin memekakan tas, wewangian, pakaian sementara?
Kita dicurigai orang-orang dan diusir oleh dermaga kita sendiri
Pergi dan pulang hanya omong-omong kendaraan
Membawa gugusan petang
dan akan segera terbenam menjadi malam
Palung hati mengubur perahu-perahu yang mondar-mandir
Di perhentian keterasingan
Menahkodai badai yang kerap datang, sambil membawa tumpukan makanan cepat saji.
Yang hangat sambil menidurkan kita dari piring-piring kebahagiaan, sebentar saja.
ALMANAK
Sudah kesekian kali aku menaruh rindu di sepasang matamu
Kelopakmu mengepak seperti burung ingin terbang
Menggendong angin yang kusut
Ada yang lebih penting dari rupa-rupa angka dan peristiwa
Adalah kita yang masih saja mempersoalkan
Aku yang tak berubah
Atau kamu yang selalu gerah
Dan selalu saja, waktu, cuaca dan suasana
Jadi tameng kita
Untuk berlindung bersama
Kaleidoskop yang serakah
Kelopakmu mengepak seperti burung ingin terbang
Menggendong angin yang kusut
Ada yang lebih penting dari rupa-rupa angka dan peristiwa
Adalah kita yang masih saja mempersoalkan
Aku yang tak berubah
Atau kamu yang selalu gerah
Dan selalu saja, waktu, cuaca dan suasana
Jadi tameng kita
Untuk berlindung bersama
Kaleidoskop yang serakah
TENTANG AKU, KAMU DAN MINKE
Kemana saja aku selama ini?
Aku yang merasa telah tercukupi dengan
aksara-aksara tentang eksistensi Tuhan, aku yang kerap beradu tipu dalam diksi
hasil buaian imajinasi atas nama fiksi, aku yang menenggelamkan pikiran
bersaama buih-buih percakapan seluas samudra, akhirnya harus merasa hilang di
hadapan Pramoedya Ananta Toer yang kamu hadirkan di depanku.
Dua Minggu terakhir, Aku telah menjadi perempuan
dengan sorot mata memecah gumpalan waktu. Jiwaku mengembara menuju masa lalu. Bukan
masa laluku. Aku pergi ke masa lalu yang tak pernah ku jumpai dalam lintasan
waktuku, dan aku berkenalan dengan beberapa orang yang namanya sudah cukup hangat
di telinga dan mataku sejak diriku mulai mengenal cinta monyet karena tuntutan
pubertas. Di masa kini, kamu lah yang telah benar-benar mengenalkanku pada
mereka.
Minke. Secara pribadi aku memang tak mengenalnya,
ku pastikan dia pun tentu tidak mengenalku bahkan melalui firasat angin
sekalipun. Kabarnya ia sedang didera cinta monyet pada seorang noni. Perkara cinta
monyet itu membuat hidupnya digentayangi oleh monyet-monyet yang dahulu pernah
mengatainya “monyet”
Monyet-monyet yang mengganggu hidupnya itu,
lagaknya seperti manusia biasa. Manusia tanpa pakaian. Dan pakaian entah
bagaimana teori awalnya telah berubah nama menjadi: adab.
Tentunya kita boleh saja memberi simpulan: pada
zaman teknologi layar sentuh ini, semakin bagus pakaian seseorang, semakin ‘apik’
adabnya.
Beberapa waktu lalu, aku pernah terkungkung dalam
satu ide gila. Aku adalah perempuan tulen, bersolek layaknya perempuan muda
yang dewasa, berupaya santun serta menjaga wicara, sampai ide gila itu muncul bahwa
aku ingin menjadi laki-laki. Tidak lama mungkin, hanya seminggu saja. Gejolak rasa
ingin tahu telah membuat pikiranku terbang menembus batas nalar. Aku tidak sedang
bosan menjadi perempuan, hanya penasaran tentang wujud diriku yang lain. Aku perempuan
dengan banyak sisi keperempuanan, namun belum pernah ada dalam sisi
kelaki-lakian dan aku sangat ingin tahu tentang hal apa yang akan sama dan atau
berbeda dalam sepucuk diri yang berbeda gender. Penasaran . itu saja.
Sampai...
Dua minggu terakhir, Minke, Nyai Ontosoroh, Bunda
dan Annelies, akhirnya berhasil membebaskanku darri kungkungan ide gila yang
menghantui. Aku diajak menyaksikan pergulatan antara kekuatan dan kelemahan. Dua
kubu berlawanan yang sejatiny sangat tipis perbedaannya. Rentan, namun gesit
seperti kilat. Aku turut pula menabuh debar saat mereka menabuh genderang
perlawanan, menabung kebencian, dan membuat pikiran berhasi; menghimpun rasa
kuat, namun sayang, sekejap mata berkedip, kekuatan itu terjungkir dan akhirnya
menjadi bentuk-bentuk kelemahan. Begitulah dunia dari masa ke masa.
Tetapi mereka membuatku belajar tentang kekuatan
yang meruntuhkan logika dalam ilmu. Aku juga menyesap bagaimana kelemahan mampu
menaklukan kekuatan.
Aku berdecak ketika melihat dengan mata hatiku
sendiri seorang perempuan pribumi, yang harga dirinya tak lebih mahal dari
kebeliaannya saat ditawarkan pada seorang pemuja birahi di negeri sebrang,
mengacungkan tangannya melawan kekuatan yang berlipat kali lebih besar dari
negeri yang memberinya makan.
Aku menyaksikan dengan rasa syahdu, bagaimana kelemahan
seorang perempuan yang bersikap kekanakan saat memenjara dan mengunci mati hati
seorang pemuda terpelajar yang dicintainya, hingga pemuda itu tak lagi sanggup
meminta dirinya untuk dibebaskan.
Aku hanyut dalam airmata seorang Bunda yang
memandikan anak laki-lakinya yang keras kepala dan sedang tersedu-sedu di
hadapannya saat akan dihantarkan menuju pelaminan.
Aku hanyut tanpa tenggelam. Aku hanyut menuju satu
muara. Lautan kelembutan. Itulah kelemahan yang mampu membuat kekuatan bertekuk
lutut. Begitu cara perempuan-perempuan dalam hidup minke menjunjung Bumi
Manusia.
Dan Bumi Manusia mereka itu telah membuat seorang perempuan sepertiku berhenti dari keinginan menjadi seorang laki-laki.
:: Untukmu, ku serukan satu yang menjadi
kesukaanmu: “Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan
orang lain”
HALLO 19 TAHUN!
Dear Aku,
Selamat mengulang tanggal 27 Agustus lagi, semoga
dapat menuai banyak hal yang terdeskripsi melalui pendewasaan dalam
kadar yang lebih besar. Bukan tentang usia yang terus tereduksi tanpa
kita bisa apa-apa, karena sebenarnya kita telah melakukan apa saja yang
beberapa beresensi lebih untuk kita, untuk sesama, dan untuk rasa.
Meskipun beberapa membuat kita memelihara kesakitan yang selanjutnya
kita harus meratapi usia. Ada hikmah megah di sela-sela segalanya,
kupastikan itu. Tepatkan dan pantaskan saja apa-apa yang mampu kita
buat, kita narasikan, atau kita rasai. Karena pada dasarnya, usia sudah
membawakan banyak masa yang bisa kita habiskan untuk apa saja, dengan
siapa saja, dan dengan cara apapun yang kita ingini.
Dear Aku,
Selamat menjalani pilihan-pilihan yang telah
dibuat, menjalani segalanya yang konsekuensi telah peringatkan dari
awal. Dan membuat pilihan-pilihan yang lain lagi selama Tuhan masih
berkenan memberi segalanya yang bisa kita pilih salah satu, salah
duanya. Mari berterima kasih, masih diberikan banyak pilihan dan masih
dimampukan memilih. Semoga segalanya mampu membaikkan. Semoga Tuhan
memudahkan jalan atas pilihan-pilihan kita.
Dear Aku,
Jika boleh kita meminta satu hadiah yang mungkin
Tuhan mau berikan, kita mungkin bersepakat meminta agar Tuhan
memperlihatkan jawaban-jawaban atas pertanyaan kita tentang masa depan.
Tentang hal-hal yang kini masih samar agar Tuhan mau jelaskan
benar-benar. Lalu, kita hanya mampu menunduk, terisak merapal doa atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Berharap paling baik dari sekedar
baik-baik saja.
Dear Aku,
Selamat atas perayaan dalam diam atas rasa yang
menumbuh sampai kita setua ini. Semaraknya semoga membahagiakan semesta,
dan bahagianya mendamaikan segalanya.
Dear Kamu
Ada bahagia yang bertebaran dari lantai hingga langit-langit ruangan ini. Dinginnya suhu tak lagi terasa karena kau memberikan hangat pada cinta yang banyak. Terimakasih atas percakapan kita yang panjang diiringi lagu-lagu cinta kampungan yang maknanya habis dilucuti zaman.
Kau yang di seberang meja. Menyeruput sisa kopi yang tak lagi nikmat. Tawamu memecah debar. Seiring rasa syukur yang mengalir tak habis-habis.
Dan suatu hari nanti cinta memuai tak semudah ini, maukah kau berjanji untuk berjuang menemukan hangatnya lagi?
Untuk kau, yang terlalu sakral untuk kusebut namanya.
Ada bahagia yang bertebaran dari lantai hingga langit-langit ruangan ini. Dinginnya suhu tak lagi terasa karena kau memberikan hangat pada cinta yang banyak. Terimakasih atas percakapan kita yang panjang diiringi lagu-lagu cinta kampungan yang maknanya habis dilucuti zaman.
Kau yang di seberang meja. Menyeruput sisa kopi yang tak lagi nikmat. Tawamu memecah debar. Seiring rasa syukur yang mengalir tak habis-habis.
Dan suatu hari nanti cinta memuai tak semudah ini, maukah kau berjanji untuk berjuang menemukan hangatnya lagi?
Untuk kau, yang terlalu sakral untuk kusebut namanya.
AGUSTUS KELABU
Agustus tahun ini
berbanding terbalik dengan tahun kemarin. Musim dingin nyatanya datang lebih awal.
Kali ini dinginnya membuat gigil yang berkepanjangan. Meremukkan asa jiwa-jiwa
yang merindu berbincang dengan matahari.
Mendung terus
menggantung, langit berubah gelap dan kelam. Itu adalah tanda kematian bagi
semua orang. Sedang kematianku sendiri sudah kau tanda tangani sejak malam itu.
Aku memeluk
lututku sendiri. seseorang yang ku rawat raut mukannya dalam lubukku. melempakanku ke daasar jurang yang dingin bersama remah-remah hati. Aku sekarat. Ini lebih mematikan
dibanding meminum racun yang telah terjadwal.
Dan tiba-tiba aku
merasa seperti kucing schrodinger di dalam boks tertutup.
SISA-SISA PERCAKAPAN
Awal adalah akhir, dan akhir adalah awal. Entah mengapa tak pernah bisa kita pahami dalam elegi fatamorgana yang menyesakkan. Sungguhpun matahari bersalin rupa dengan sang bulan, takkan mampu juga kita pahami awal dan akhir. Karena kita memang tak pernah terhinggapi jentik merah jambu yang memabukkan, yang membuat awal dan akhir saling berkaitan.
Aku pernah berkata satu, kaupun berkata satu. Aku mengartikannya dua, tapi kau tetap mengartikannya satu. Lidah dan ucapan bagai dua mata pisau yang saling beririsan. Layaknya makna yang selalu ada dibalik pertanda, begitu juga kita, yang tak pernah lelah menebar pertanda di rerumputan senja, walau tak sekalipun kita mampu mengemasnya.
Mungkinkah ini awal?
Pada mulanya kita biru, lalu berubah menjadi abu-abu. Hingga akhirnya terbelah menjadi merah dan hijau yang sulit dibiaskan kanvas putih di malam minggu. Semua orang pernah bertanya: mungkinkah merah dan hijau melebur jadi satu? Tanpa jawab, kita hanya bergeming dan merenung diantara meja dan buku yang tertata.
Tanpa sadar, ketika kita larut dalam renungan tak berdasar, sang waktu mulai menari menuju batas pengharapan. Batasan yang menghasilkan jawaban tanpa pertanyaan, yang lebih memabukan dari percakapan tak beralasan.
Mungkinkah ini akhir?
Pada akhirnya kita hanyalah sisa-sisa percakapan, yang terbuang dari lembah pengharapan, dan jatuh ke palung kesendirian. Sisa-sisa percakapan, yang telah menemukan muara pada samudra lepas khatulistiwa, beralaskan sampan bertajuk jawaban.
Kini kita hanya dapat berpegang pada rindu dan durja dalam senja jingga. Sambil menyusun garis merah jambu yang telah menjelma menjadi kelabu, yang menghubungkan awal dan akhir dari elegi fatamorgana masa lalu.
Dan sekarang aku sedang rindu.
SEMESTA KITA
Dunia tak serupa kotak ajaib bersudut delapan
Atau bulatnya bola tanpa isi
Tak juga lempengan luas tak bertepi,
Pun tak sudi merepotkan atlas untuk memanggulnya.
Ia selayaknya gumpalan takdir yang tersesat dan minta ditemukan.
Ia mungkin saja mewujud, atau tidak
Pada suatu masa, Ia akan lahir merupa aksara.
Mewujud dalam benak
Menjelma menjadi apa dan siapa
Merasuk dalam jiwa yang paling fana
Ialah diam, yang berteriak dalam bisu.
Menghantui dalam mimpi, memeluk erat dalam nyata
Mengecup mesra dalam kepahitan yang manis
Meraja dalam setiap langkah.
Dunia menjelma menjadi semesta.
Semestaku, semestamu dan semesta kita.
CINTA ITU CUKUP
Setiap kali berulang tahun, aku semakin mendekati tempat asalku: ketiadaan. Bunda bilang, dunia ini sendiri pun lahir dari ketiadaan. Karena lahir dari ketiadaan, mengapa pula harus mencemaskan kehilangan?
Ketiadaan itu meluaskan, kata Bunda, dan mempertemukan manusia dengan banyak hal, di antaranya cinta. ‘Aku berharap bisa melindungimu dari patah hati. Tapi itu tak mungkin.’
‘Kenapa, Bun?’
‘Karena mengalami kehilangan adalah bagian dari kembali kepada menemukan. Tapi jangan pernah kau lupa, kau tak akan pernah kekurangan cinta.’
‘Karena cinta itu besar?’
‘Karena aku tak akan berhenti mencintaimu.’
‘Seberapa besar kau mencintaiku, Bu?’
‘Sebesar kuku jari.’
Aku yang sedang menggigiti kuku jari tengahku terdiam. ‘Kuku jari?’
Bunda menatapku dengan tersenyum. Senyum yang selalu aku rindukan, terutama ketika aku ulang tahun dan patah hati. ‘Iya. Kuku jarimu selalu tumbuh meski kaupotong. Sebesar itulah cinta. Tak pernah sangat besar, tidak juga terlalu kecil. Cinta itu cukup.’
Tujuh tahun kemudian, aku baru paham filosofi kuku jari dan mengapa cukup adalah bilangan tak terhingga dari cinta.
Cinta selalu cukup untuk siapa saja.
Semakin aku bertambah usia, semakin aku pun paham. Tak pernah ada cara yang tepat untuk mencintai. Yang disebut tepat adalah ketika aku dan kamu saling mencintai dengan cukup.
Putri kecilnya kini sudah dewasa dan berani mencintai sebesar kuku jari itu. Tak peduli berapa banyak ia mengalami patah hati
GELAS YANG TIDAK PERNAH KOSONG
Gelas-gelas yang tidak pernah kosong, tak mau kosong.
Mau aku gantikan dengan larutan beracun?
Yang akan merangsang neuron-neuron dalam otakmu dan saling berkirim pesan,
"Kau harus menerima bahasaku"
Titik.
DONGENG UNTUK PUTRI KECIL TERSAYANG
“ Bunda… bisakah kau ceritakan
dongeng tentang aku sendiri?”
“ Ada apa sayang? Apakah kamu bosan dengan cerita Kumba dan Suri keluarga kuda? Atau tidak penasaran lagi kepada kelanjutan kisah bunga angsana?”
“ Ada apa sayang? Apakah kamu bosan dengan cerita Kumba dan Suri keluarga kuda? Atau tidak penasaran lagi kepada kelanjutan kisah bunga angsana?”
“Aku hanya ingin Bunda bercerita
kepadaku dari mana aku berasal, apakah aku dan Bunda sudah berteman sejak
lama?”
“Sayangku, kamu sangat lucu. Kita
berteman bahkan sejak sebelum Bunda tahu kamu sudah ada dalam perut ini selama
2 minggu. Bunda menangis mendengar bahwa akhirnya kamu ada, sayang….”
“Kenapa Bunda menangis? Bukankah
Bunda punya teman baru seperti aku? Apakah Bunda sedih? Ayolah ceritakan
semuanya Bunda….”
“Bunda tidak sedih sayang, bunda
terlalu gembira sehingga meneteskan air mata. Tidakkah kau tahu betapa
bahagianya aku dan ayah. Merindukan kamu setiap hari Nak… Kamu berasal dari
suatu hari yang sangat indah, di mana waktu Ayah dan Bunda sangat tepat ketika
bertemu. Kamu lahir dari cinta ayah dan cinta bunda, bergabung menjadi satu
dengan doa. Dan saat itu Tuhan Yang Maha Baik menyukaimu, mempercayakanmu
kepada kami berdua, lalu meniupkan namamu dalam perut Bunda, sayang…”
“Indah sekali Bunda…”
“Sangat indah sayang, Bunda mengajakmu berteman mulai
saat itu. Ayah tidak mau ketinggalan, dia selalu membelaimu, menyanyikan kamu
lagu anak-anak yang lucu, dan sering mengajakmu bermain. Namun saat itu kita
terpisah Nak, rumahmu ada dalam perut Bunda. Karena kau masih sangat muda dan
Tuhan belum mengizinkan kamu untuk jauh dari perut Bunda”
“Kenapa aku sangat kecil sekali
waktu itu Bunda? Mengapa Bunda mau berteman dengan aku yang sangat kecil?”
“Tahukah kamu sayang? Dulu Bunda
juga sangat kecil. Manusia pasti pernah memiliki badan yang sangat kecil. Bunda
tahu rasanya menjadi manusia yang kecil, jadi bertemanlah dengan Bunda sampai
kapanpun, jangan takut, ceritakanlah semuanya kepada Bunda.. Mengerti Nak?”
“Iya Bunda, meskipun aku kecil
namun aku punya banyak boneka dan kertas bergambar untuk Bunda. Ambil saja Jika Bunda mau, Bunda
adalah teman terbaikku”
“Terimakasih sayangku, sesuatu yang paling ajaib dititipkan kepada Bunda
untuk dimiliki sementara adalah kamu, semoga kamu selalu ingat bahwa
hati kita saling memiliki ya Nak"
"Aku tidak terlalu mengerti apa yang Bunda katakan, tapi suatu hari nanti jika ibu butuh hatiku aku mau memberikannya kok"
Bunda mengusap air mata di pelupuknya. Mencium dahiku, membelaiku dan membisikan bahwa aku harus segera tidur.
Aku masih sangat kecil, namun aku selalu ingat bahwa momen terbaikku adalah saat aku sangat dekat dengan Bunda. Benar kata pepatah, ibu adalah penyambung tangan Tuhan.
TITIK TEMU
Dalam pergumulan ragu dan harap yang menunggu di ujung waktu. Lidah ku kelu saat kau tawarkan opsi itu. Kita sepakat tentang suatu hal yang justru ambigu dan membawa kita pada jalan buntu. Ini bukan tentang rasa yang buru-buru atau tentang intervensi yang menggebu. Ini tentang harap yang menjulang dan tertuju padamu. Kau bisu, aku pun bisu. Kita sama-sama meminang kecemasan di balik pintu.
Dan ternyata kita sama-sama menunggu. .
Kau menunggu ku di seberang waktu, aku pun menunggu mu di ujung jalan itu. Aku yang tak jeli atau kau yang tak rinci memberikan informasi? Lucu memang :-D
Tapi akhirnya, kita pun menemukan titik temu. Titik dimana keyakinan telah bersekutu dengan waktu. Kau genggam tangan ku seraya berbisik..
" Jangan berikrar disini " katamu
Ku anggukan kepala tanda setuju.
Lalu kita berlari bersama keyakinan dan harap yang bergumul menjadi satu.
MEREGUK HARAPAN
Kabar buruk adalah si dengkul yang akan berlabuh pada ketidaktahuan yang memabukkan. Aku terjebak dalam labirin emosi dan enigma yang tak bertepi.
Segelas air putih dibutuhkan saat ini, hanya segelas air putih.
Aku putuskan untuk menghilang sejenak dari realita yang menawarkan keindahan semu dan senyuman palsu. Tenyata menyenangkan, sebab langkah ku kali ini tidak lagi di jegal oleh kesedihan yang bermuara pada keputusasaan. Setidaknya pada jeda yang sebentar, Ia menawan lidahku untuk tak melontarkan kata- kata yang tak perlu. Pada jeda yang lama, memberi ruang untuk menyelami entitas dari kehidupan yang bergumul dengan waktu.
Meskipun begitu, hari ini harapan adalah obat yang paling bijak. Mereguk satu harapan sama dengan menelan heroin yang menenangkan. Meskipun kehausan, meskipun...
KEKASIH KEPADA LAUT
Malam ini, aku tak bercinta
Tak bercerita
Aku tau kau kembara
Serupa aku
Tetirah di malam - malam yang purba
Di Wajah waktu
Tubuhku membatu
Tapi, kau tanam cahaya yang begitu purnama di jantungku
Kita memang telah lampau bercinta
Mungkin juga tak sekedar pura - pura bahagia
Kau tersesat!
Tersesatlah di jalan yang benar.
Ingatlah aku,
Kenanglah langit sepi dengan dermaga di ujungnya
Yang melayarkan tubuh kita.
Pulanglah,
Pulanglah segera sayang
Aku keram dan pecah di muka pintu
Mungkin kau tak kembali
Tapi, tak ada yang terlambat
Kedatangan dan kehilangan tak pernah terlambat bukan?
Tak bercerita
Aku tau kau kembara
Serupa aku
Tetirah di malam - malam yang purba
Di Wajah waktu
Tubuhku membatu
Tapi, kau tanam cahaya yang begitu purnama di jantungku
Kita memang telah lampau bercinta
Mungkin juga tak sekedar pura - pura bahagia
Kau tersesat!
Tersesatlah di jalan yang benar.
Ingatlah aku,
Kenanglah langit sepi dengan dermaga di ujungnya
Yang melayarkan tubuh kita.
Pulanglah,
Pulanglah segera sayang
Aku keram dan pecah di muka pintu
Mungkin kau tak kembali
Tapi, tak ada yang terlambat
Kedatangan dan kehilangan tak pernah terlambat bukan?
Proyeksi
“Semoga kau tetap ingat apa yang dibutuhkan jiwamu. Bukan kemakmuran,
harga diri, dan kepemilikan, tetapi tanggung jawab orang dewasa untuk
mencintai..”
-kutipan dari sebuah buku filsafat kuno...
-kutipan dari sebuah buku filsafat kuno...
AROGANSI RASA
Di tengah pengembaraan seluas semesta yang tak
pernah ku gapai oleh tanganku yang sehasta atau oleh kakikku yang begitu cepat
merasakan lelahnya, terselip sebuah tanda tanya yang mengusik jiwa. Aku
mendapati diriku bukanlah diriku yang sebenarnya, aku sadar tetapi seperti tak
sadar, dan aku hidup seperti tak hidup.
Hati ku tiba-tiba berhenti untuk memutar, yang ku temukan hanya kau lah yang ada dalam garis imaji dan batas realitasku.
Sulit
bagiku mengatakan bahwa ‘aku jatuh cinta’ karena jiwaku terbiasa dengan
kesendirian dan kesunyian. Kesunyian adalah teman abadi ku bercengkrama dengan
malam-malam yang panjang, dinding-dinding kamar yang bisu , nyanyian sabda alam
yang mengoyak jiwa, dan sepotong imajinasi liar yang menggumpal di relung batin.
Ketika aku jatuh cinta, itu berarti aku harus siap mendapati diriku terbaring
tanpa koma oleh cinta yang tiada habisnya, harus siap berteman dengan air mata,
bahkan terseok oleh cinta yang fana.
Sosokmu
telah menyentuh garis perasaan dan prinsip ku sebagai perempuan Independen.
Kau seperti virus yang menjangkiti seluruh
organ dalam tubuhku. Aku terinfeksi! Jika sudah seperti ini aku harus
bagaimana? Membiarkan diriku perlahan terkapar oleh ketidakberdayaan? Atau membunuh secara perlahan virus yang bersemayam? Pahamilah
jiwaku secara integral! Bukan parsial dan tanpa makna.
INDEPENDENSI JIWA
Yang ku tahu, kabarnya kita hidup dalam gelombang udara
purba yang memberi tanda bahwa tak ada yang tak menua. Janji-janji akan
membuatnya semakin pilu, tak selalu bersama juga akan meruntuhkan juga. Namun,
aku hanya ingin menjadi busur tanah, atau dari dengkul menjadi pelana. Salahkah?
Diam bukan berarti tak peduli. Tidak semua inti hati bisa kau mengerti dan kau
telanjangi dengan panca indera. Pernahkah kau berfikir bahwa satu debu pun
terdiri dari ribuan sel yang pernah bernyawa? Selalu ada hal yang tidak bisa
dipahami nalar karena semua hal memiliki lapis makna yang tak terhingga.
Aku mempunyai pita film abu-abu tentang gambaran diri. Sering
kali ku tonton gambar diriku bergerak terbang merendah dan menerima bahwa hanya
kau yang ada dalam garis imaji dan batas realitasku. Aku yang selalu tersesat
dengan dunia 4 dimensi ku sendiri. Dan kau yang selalu sadar 3 dimensi dunia
kita. Kita terpisah oleh sekat yang entah tak terdefinisi. Dan tiada yang lebih
pahit dan menyakitkan selain mendapati keterpisahan dan ketidaktahuan yang
memabukan. Yang mampu ku baca bahwa kau tau caranya menghibur diri dan bahagia
meski kita berada dalam lokomotif yang berbeda. Satu yang menguatkanku, bahwa kita
hidup dalam satu pendar cahaya yang sama.
Aku harap kau mau menerimaku menjadi air, tanah, dan udara kapan saja. Aku adalah partikel mandiri yang lahir dari ribuan sel dan bersatu padu membentuk tunggal yang kuat, sehat dan berakar. Sejak lama jiwaku sudah bertransformasi dan merdeka, kau lah konsentrasi ku mengorbit dan melawan rasa takut akan kehampaan. Jika nanti ku tak tau jalan pulang, tarik aku semaumu dengan kendaraan rasio dan logika.
Aku merasakan kebahagiaan paripurna dalam ketidakberdayaanku berani mencinta. Yang aku miliki hanyalah independensi untuk merasa tidak repot saat kau tak ada. Dan aku akan menerima dengan lembut rasa sakit menahan hampa saat sekat semakin membatas. Mungkin suatu hari kita harus pergi sendiri-sendiri. Akan ada kesempatan berbeda, bentuk rupa, cara dan bentuk yang tak sama. Kau akan jadi bayi kecil lebah, aku akan jadi bunga Desember yang semerbak dan mengawal kelahiranmu. Atau aku menjadi bijih Vanili yang lembut menumbuh dan kau manjakan dengan belaian lembut anginmu. Kenapa tidak?
Dalam ruang-ruang kita yang kecil dan rahim dunia yang maha luas, mutasiku menjadi jiwa baru adalah setiap hari. Tapi tidak dengan muatan maknaku untukmu yang begini saja.
Tahan lama, purba dan tak juga menua...
Untuk R.Dini Dania dan Ineu Inayah, yang
selalu percaya bahwa berani mencintai dengan berani adalah bukti independensi.
Subscribe to:
Posts (Atom)