Awal adalah akhir, dan akhir adalah awal. Entah mengapa tak pernah bisa kita pahami dalam elegi fatamorgana yang menyesakkan. Sungguhpun matahari bersalin rupa dengan sang bulan, takkan mampu juga kita pahami awal dan akhir. Karena kita memang tak pernah terhinggapi jentik merah jambu yang memabukkan, yang membuat awal dan akhir saling berkaitan.
Aku pernah berkata satu, kaupun berkata satu. Aku mengartikannya dua, tapi kau tetap mengartikannya satu. Lidah dan ucapan bagai dua mata pisau yang saling beririsan. Layaknya makna yang selalu ada dibalik pertanda, begitu juga kita, yang tak pernah lelah menebar pertanda di rerumputan senja, walau tak sekalipun kita mampu mengemasnya.
Mungkinkah ini awal?
Pada mulanya kita biru, lalu berubah menjadi abu-abu. Hingga akhirnya terbelah menjadi merah dan hijau yang sulit dibiaskan kanvas putih di malam minggu. Semua orang pernah bertanya: mungkinkah merah dan hijau melebur jadi satu? Tanpa jawab, kita hanya bergeming dan merenung diantara meja dan buku yang tertata.
Tanpa sadar, ketika kita larut dalam renungan tak berdasar, sang waktu mulai menari menuju batas pengharapan. Batasan yang menghasilkan jawaban tanpa pertanyaan, yang lebih memabukan dari percakapan tak beralasan.
Mungkinkah ini akhir?
Pada akhirnya kita hanyalah sisa-sisa percakapan, yang terbuang dari lembah pengharapan, dan jatuh ke palung kesendirian. Sisa-sisa percakapan, yang telah menemukan muara pada samudra lepas khatulistiwa, beralaskan sampan bertajuk jawaban.
Kini kita hanya dapat berpegang pada rindu dan durja dalam senja jingga. Sambil menyusun garis merah jambu yang telah menjelma menjadi kelabu, yang menghubungkan awal dan akhir dari elegi fatamorgana masa lalu.
Dan sekarang aku sedang rindu.
Tulisannya bagus :))
ReplyDeleteMakasih udah mampir: )
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete