Izinkan 100.000.000.000 sel dalam tubuh ini merasainya benar-benar.
Setelah itu saya akan memerintahkan dengan tegas kepada setiap sistem organ, untuk mengirimkan permintaan maaf kepada semesta. Ternyata saya cuma manusia biasa.
Patah hati musim ini adalah kehilangan daya untuk mengerti diri sendiri. Membiarkan setiap sel mati digerus lempeng kebodohan. Perasaan asing dan ditinggalkan melekat dalam setiap partikel debu yang berterbangan. Terhirup dan mengkontaminasi seluruh bilik jantung. Berdebar-debarlah. Dalam ruang yang saya namai laboratorium saya terhenyak. Sudah lama badan ini meronta meminta dipertemukan dengan jiwanya. Yang bebas.
Lalu terdengar pantulan suara dari dinding yang dingin nan damai. “Selagi kau bukan cadaver, kejarlah jiwamu yang terpisah, dia minta dijemput bukan menjemput. Suatu hari kau akan tahu, pedihnya berjarak dengan ruh dan raga. Kejarlah…”
Saya masih tidak mengerti, bolehkah saya mengeluh dan menikmati keterasingan. Usaha-usaha saya adalah menjangkau bahagia yang paling dekat dan merasai pedih yang paling dalam.
Dan ketika rasa sakit, lelah dan jenuh berkumpul, saya harap semesta telah memafkan saya. Ternyata saya Cuma manusia biasa.
Saya, ditinggalkan, oleh diri sendiri.
Secangkir waktu-waktu yang telah terhabisi nyatanya hanya meninggalkan ampas kepedihan. Bahagia yang dimaksud ternyata absurd. Sepotong kue manis di atas cawan, kecil dan menipu lidah. Membicarakan manis, manis diawalnya saja.
Jika ini tentang sebuah komitmen yang mengikat dua jiwa, maka tibalah kita pada lokomotif yang berbeda. Itu saja.
Setelah itu saya akan memerintahkan dengan tegas kepada setiap sistem organ, untuk mengirimkan permintaan maaf kepada semesta. Ternyata saya cuma manusia biasa.
Patah hati musim ini adalah kehilangan daya untuk mengerti diri sendiri. Membiarkan setiap sel mati digerus lempeng kebodohan. Perasaan asing dan ditinggalkan melekat dalam setiap partikel debu yang berterbangan. Terhirup dan mengkontaminasi seluruh bilik jantung. Berdebar-debarlah. Dalam ruang yang saya namai laboratorium saya terhenyak. Sudah lama badan ini meronta meminta dipertemukan dengan jiwanya. Yang bebas.
Lalu terdengar pantulan suara dari dinding yang dingin nan damai. “Selagi kau bukan cadaver, kejarlah jiwamu yang terpisah, dia minta dijemput bukan menjemput. Suatu hari kau akan tahu, pedihnya berjarak dengan ruh dan raga. Kejarlah…”
Saya masih tidak mengerti, bolehkah saya mengeluh dan menikmati keterasingan. Usaha-usaha saya adalah menjangkau bahagia yang paling dekat dan merasai pedih yang paling dalam.
Dan ketika rasa sakit, lelah dan jenuh berkumpul, saya harap semesta telah memafkan saya. Ternyata saya Cuma manusia biasa.
Saya, ditinggalkan, oleh diri sendiri.
Secangkir waktu-waktu yang telah terhabisi nyatanya hanya meninggalkan ampas kepedihan. Bahagia yang dimaksud ternyata absurd. Sepotong kue manis di atas cawan, kecil dan menipu lidah. Membicarakan manis, manis diawalnya saja.
Jika ini tentang sebuah komitmen yang mengikat dua jiwa, maka tibalah kita pada lokomotif yang berbeda. Itu saja.
Rasa lelah, sakit, dan jenuh mendarah daging dalam alur kisahnya. Memang nikmat, tapi, pembacanya jadi ikutan galau nih. :v
ReplyDeleteSalam kenal, mba. :)
http://penjajakata.com/
Makasih udah baca, wah efek sampingnya langsung terasa ya :v
Deletesalam kenal juga :)