Setiap kali berulang tahun, aku semakin mendekati tempat asalku: ketiadaan. Bunda bilang, dunia ini sendiri pun lahir dari ketiadaan. Karena lahir dari ketiadaan, mengapa pula harus mencemaskan kehilangan?
Ketiadaan itu meluaskan, kata Bunda, dan mempertemukan manusia dengan banyak hal, di antaranya cinta. ‘Aku berharap bisa melindungimu dari patah hati. Tapi itu tak mungkin.’
‘Kenapa, Bun?’
‘Karena mengalami kehilangan adalah bagian dari kembali kepada menemukan. Tapi jangan pernah kau lupa, kau tak akan pernah kekurangan cinta.’
‘Karena cinta itu besar?’
‘Karena aku tak akan berhenti mencintaimu.’
‘Seberapa besar kau mencintaiku, Bu?’
‘Sebesar kuku jari.’
Aku yang sedang menggigiti kuku jari tengahku terdiam. ‘Kuku jari?’
Bunda menatapku dengan tersenyum. Senyum yang selalu aku rindukan, terutama ketika aku ulang tahun dan patah hati. ‘Iya. Kuku jarimu selalu tumbuh meski kaupotong. Sebesar itulah cinta. Tak pernah sangat besar, tidak juga terlalu kecil. Cinta itu cukup.’
Tujuh tahun kemudian, aku baru paham filosofi kuku jari dan mengapa cukup adalah bilangan tak terhingga dari cinta.
Cinta selalu cukup untuk siapa saja.
Semakin aku bertambah usia, semakin aku pun paham. Tak pernah ada cara yang tepat untuk mencintai. Yang disebut tepat adalah ketika aku dan kamu saling mencintai dengan cukup.
Putri kecilnya kini sudah dewasa dan berani mencintai sebesar kuku jari itu. Tak peduli berapa banyak ia mengalami patah hati
cinta juga cukup bikin bahagia dan cukup bikin menderita
ReplyDeleteIya setuju :)
DeleteMencintai itu takdir. Anugerah Sang Maha Cinta. Bukan logika, sehingga tak harus berbalas jua. Cukup mencinta dengan ikhlas, maka kita bahagia.
ReplyDeleteCinta yang bertepuk sebelah tangan terkadang layak mendapatkan tepuk tangan. : )
Delete