Because Women Are Always Right, Isn't it?

 

Liburan tahun baru saya isi  dengan mengunjungi beberapa lokasi wisata di Kota Kembang Bandung. setelah bergelut dengan ujian akhir semester, seabreg deadline, dan skripsweet yang bisa bikin nambah hutang tidur, akhirnya hari pembebasan pun tiba! Merdeka!
Tapi disini saya gak akan bahas liburan, saya akan membahas sebuah foto yang cukup menggelitik. Yupp.. Foto diatas merupakan foto yang saya ambil di salah satu tempat wisata di Kota Bandung. Jika dilihat maka disitu tertulis "Men to the left because women are always right". Saya pun menjadikan gambar tersebut sebagai profil di akun BBM.

Jika diartikan, maka kalimat yang menonjol adalah "Karena perempuan selalu benar" Benarkah demikian? 

Salah satu teman saya, memberikan komentar seperti ini bunyinya:
 Hahahahaha.. Gak mau disalahkan.. Membuat stigma “wanita selalu benar” menempel.. Wanita itu dikasi tauin ngeyel.. Kalau disakitin, mewek.. Dinasehatin ngelawan, kalo salah gak mau disalahin.. Tipikal..” Pikiran pertama saya saat membaca komentar tersebut adalah: seriously? Ini beneran ada orang yang cara kerja otaknya model begini? Kebodohan yang memang tidak berbatas, atau ini cuma joke yang tidak lucu?

But to think about it again….

Semua orang pernah mendengar lelucon-lelucon atau pernyataan-pernyataan klasik yang menggambarkan (yang katanya) sifat perempuan. Lelucon-lelucon itu bertebaran di mana-mana; dalam sastra dan film populer baik komedi maupun kisah cinta, dalam percakapan di kehidupan sehari-hari, dalam meme yang tersebar di media sosial, dalam lirik lagu dan puisi. Beberapa dari lelucon-lelucon atau pernyataan-pernyataan tersebut pasti sudah sering kita dengar:
“Perempuan selalu benar, jadi ngalah aja.”
“Cewek itu gitu, sih, sebentar maunya ini, berapa menit kemudian ganti lagi.”
“Lagi PMS ya, Neng? Marah-marah mulu.”
“Karena wanita ingin dimengerti…. Manjakan dia dengan kasih sayang….” (Oh, yang ini lirik lagu, ya.)

Dan sebagainya yang senada. Biasanya, yang melontarkan lelucon-lelucon atau pernyataan-pernyataan tersebut adalah kaum lelaki, baik yang sarkas bin nyinyir maupun yang romantis dan bermaksud baik. Tapi tak jarang ada dari antara kaum perempuan yang mengaminkannya sendiri dengan enteng dan senang hati, misalnya dengan menganggapnya keuntungan atau privilege, mengiyakannya sebagai kodrat, menggunakannya sebagai modal tawar agar memperoleh apa yang dikehendaki, membuat laki-laki serasa mati kutu. Bahkan menganggapnya sebagai klarifikasi tentang mengapa perempuan itu spesial dan harus diperlakukan spesial pula.  

That’s how we women are, boys. You just take it or leave it.

Tapi apakah benar demikian?
Apakah karena tubuh perempuan mengalami yang namanya Pre-Menstrual Syndrome, lantas semua  perempuan adalah makhluk moody, emosional, dan tidak/kurang rasional dibandingkan laki-laki? Apakah karena perempuan terkadang sulit menentukan pilihan (misalnya antara dua model baju yang sama-sama kece), lantas laki-laki tidak mungkin melakukan hal yang sama?
Apakah karena beberapa perempuan punya sifat ngeyelan, lantas semua perempuan adalah makhluk tak logis yang harus selalu dibuat merasa benar hanya agar dia merasa senang? Apakah karena perempuan menikmati perasaan disayang dan dimanjakan, lantas semua perempuan adalah makhluk cengeng dan rapuh yang harus selalu diemong dan dituntun oleh laki-laki?
Emosional, plinplan, tukang ngeyel yang susah diberitahu, senang dimanja dan disayang…. Itu semua sifat spesifik perempuan sebagai satu gender tersendiri, atau sifat yang bisa dimiliki manusia mana saja?
Kedengarannya memang seperti lelucon yang tidak berbahaya. Tapi, hanya karena satu macam stigma, bukan lantas ketika kalah berdebat dan kehabisan argumen logis, langsung memainkan kartu truf: berdebat dengan perempuan pada dasarnya tak ada gunanya, karena perempuan adalah makhluk cengeng ngeyelan yang tidak punya logika.

Ego dan harga diri lawan yang tidak mengizinkannya dikalahkan perempuan rupanya memberinya amunisi pembenaran klasik khas patriarki: levelnya sebagai laki-laki ada di atas perempuan. Maka ia menertawakan dan meremehkan perempuan.
Bayangkan jika semakin banyak orang yang memercayai generalisasi atas sifat-sifat perempuan. Dulu, Megawati Soekarnoputri dipandang tidak layak untuk menjadi presiden Republik Indonesia, karena ia perempuan dan perempuan katanya makhluk emosional.
Dalam banyak jajaran direksi perusahaan-perusahaan besar, jumlah perempuan yang menjabat hanya segelintir, karena katanya kemampuan memimpin dan manajerial seorang perempuan tidak sebaik lelaki. In many cases, women are not taken as seriously as men.
Padahal, rekan saya yang jadi bidan, juga perempuan, sanggup mengambil keputusan di saat-saat kritis saat menolong persalinan yang bermasalah ketika sedang tidak ada dokter yang dapat dimintai saran.
Saya juga memiliki seorang senior yang mengambil sekolah spesialis bedah tulang, seorang perempuan mungil di tengah mayoritas laki-laki bertubuh tegap. Memang, dalam beberapa hal ia harus minta tolong teman-temannya secara fisik. Tapi dokter perempuan ini salah satu yang terpintar di angkatannya.
Juga, ingatkah kita kepada Malala Yousafzai, seorang gadis Pakistan yang pernah ditembak di kepala oleh tentara Taliban karena tulisannya soal hak-hak pendidikan kaum perempuan di negerinya? Atau R.A. Kartini, yang di tengah keterbatasannya untuk melawan sistem feodal masyarakatnya saat itu, tetap sanggup memiliki pemikiran-pemikiran yang jauh lebih progresif dari kebanyakan kaum lelaki ningrat di zamannya?
So, girls. Relakah jika kapasitas otak dan kemampuan kita sebagai perempuan diremehkan hanya karena lelucon sehari-hari yang tidak penting dan tidak krusial untuk hidup siapa pun? Relakah jika kita dianggap makhluk tak logis hanya karena kita mengalami menstruasi dan perubahan hormonal sebulan sekali?
Saya, sih, tidak.
Tentu, saya bisa salah, atau emosional, atau jadi cranky karena tidak enak badan saat menstruasi, atau gemar bermanja-manja pada kekasih saya. Tapi itu karena saya manusia, bukan karena saya perempuan.

No comments:

Post a Comment

 

Catatan Gadis Puisi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review