Jika
para penjual jeruk berkumpul dan mengutarakan hal yang sama setiap
waktu dan setiap hari, maka dunia ini akan menjadi tempat paling bising
yang penuh dengan keluhan harga jeruk yang mahal, jeruk yang busuk,
jeruk yang kurang manis, jeruk yang terlalu asam, jeruk yang tidak layak
dan pembeli yang menyebalkan.
Maka jadilah gadis penjual yang biasa saja. Yang diam saja meskipun apa-apa yang ada dalam keranjangnya mendapat banyak masalah. Yang merawat sebaik-baiknya jeruk-jeruk yang dia punya. Yang memperbaiki dapur rumahnya menjadi tempat paling apik dan terbaik untuk menyimpan keranjang dan jeruknya. Apapun yang menderanya, hanyalah persoalan muka yang bisa diselesaikan di dapur, di belakang punggung orang-orang.
Seorang gadis penjual jeruk yang hari itu didatangi seorang pembeli. Tak begitu lama si pembeli menimbang dan menaruh baik-buruk menarik-tidak menarik jeruk-jeruk itu. Kemudian transaksi mereka berlanjut di jendela. Suasana yang berhasil si pembeli ciptakan menyebabkan si gadis melupakan keranjang, jeruk dan dapur di rumahnya. Mulanya ia bersedia memberikan tangannya, dari tangan si gadis ingin menaruh kepalanya di bahu badan pejal si pembeli. Cerita tidak berhenti di jendela dengan hanya duduk-duduk saja. Di hari yang lain, jendela sudah bisa mereka lompati, dari tangan si gadis yang lemah muncul kekuatan yang tak di duga. Dia maka tahu bahwa tak ada gunanya membangun dapur saja di rumah. Si beranda rupanya minta dipercantik pula. Ia mulai menanti kedatangan sang pembeli.
Sepahit-pahitnya menelan pil pahit kemelekatan tidak ada yang lebih menyakitkan melihat sang gadis dibawa begitu saja oleh sang pembeli hidung belang. Kemudian sang gadis penjual jeruk berlalu mengikut dan meninggalkan keranjang dan jeruk-jeruk yang membusuk.
Gadis penjual jeruk sudah kehilangan jeruk dan keranjangnya. Saya mulai sedih.
Pembeli mengajaknya kembali lagi ke jendela, katanya dia rindu. Dasar dia tak menunggu sampai semuanya terasa biasa saja. Lalu dia bilang inilah yang namanya rasa, jeruk yang manis itu sampai pada orang yang salah.
Si gadis kini semakin merajalela. Sang pembeli telah memilikinya... manisnya jeruk, manisnya wajah si gadis, manisnya merasai.
Sang gadis kini telah hilang keranjangnya, jeruknya, dapurnya, berandanya dan dia bukan gadis penjual jeruk lagi, bukan sang gadis lagi...
sampailah pada batas sensitif moralitas wanita.....
saya ikut merasakan kecewa, marah, dan sedih.
Karena ternyata yang kamu punya hanya ego dan nafsu yang kamu bagi dengan mata uang cinta. Jika memang pria adalah pemimpin, maaf. Bagi saya kamu tidak pantas mendapatkan jeruk manis.
Silahkan menjadi penabur, namun taburkanlah iman dan kebaikan kepada dia yang kamu cintai dan ingin kamu jadikan istri. Percuma membicarakan kebenaran kepada orang-orang yang mengelilingimu, karena kebenaran ada dalam tanggungan.
Kebodohannya pada hari itu adalah, membiarkan sang pembeli membawa tangannya ikut serta dibawa pergi. Bukan jeruk manis yang telah lama dia peram, ia jaga supaya manis dan layak dibeli.
*saat tersesat dalam labirin nafsu, saat menempuh jalan yang berbeda, kendaraan yang paling agung bagi wanita adalah iman. Semoga Tuhan selalu menyanyangi ia, yang sedang lupa memarkir kendaraannya..
Maka jadilah gadis penjual yang biasa saja. Yang diam saja meskipun apa-apa yang ada dalam keranjangnya mendapat banyak masalah. Yang merawat sebaik-baiknya jeruk-jeruk yang dia punya. Yang memperbaiki dapur rumahnya menjadi tempat paling apik dan terbaik untuk menyimpan keranjang dan jeruknya. Apapun yang menderanya, hanyalah persoalan muka yang bisa diselesaikan di dapur, di belakang punggung orang-orang.
Seorang gadis penjual jeruk yang hari itu didatangi seorang pembeli. Tak begitu lama si pembeli menimbang dan menaruh baik-buruk menarik-tidak menarik jeruk-jeruk itu. Kemudian transaksi mereka berlanjut di jendela. Suasana yang berhasil si pembeli ciptakan menyebabkan si gadis melupakan keranjang, jeruk dan dapur di rumahnya. Mulanya ia bersedia memberikan tangannya, dari tangan si gadis ingin menaruh kepalanya di bahu badan pejal si pembeli. Cerita tidak berhenti di jendela dengan hanya duduk-duduk saja. Di hari yang lain, jendela sudah bisa mereka lompati, dari tangan si gadis yang lemah muncul kekuatan yang tak di duga. Dia maka tahu bahwa tak ada gunanya membangun dapur saja di rumah. Si beranda rupanya minta dipercantik pula. Ia mulai menanti kedatangan sang pembeli.
Sepahit-pahitnya menelan pil pahit kemelekatan tidak ada yang lebih menyakitkan melihat sang gadis dibawa begitu saja oleh sang pembeli hidung belang. Kemudian sang gadis penjual jeruk berlalu mengikut dan meninggalkan keranjang dan jeruk-jeruk yang membusuk.
Gadis penjual jeruk sudah kehilangan jeruk dan keranjangnya. Saya mulai sedih.
Pembeli mengajaknya kembali lagi ke jendela, katanya dia rindu. Dasar dia tak menunggu sampai semuanya terasa biasa saja. Lalu dia bilang inilah yang namanya rasa, jeruk yang manis itu sampai pada orang yang salah.
Si gadis kini semakin merajalela. Sang pembeli telah memilikinya... manisnya jeruk, manisnya wajah si gadis, manisnya merasai.
Sang gadis kini telah hilang keranjangnya, jeruknya, dapurnya, berandanya dan dia bukan gadis penjual jeruk lagi, bukan sang gadis lagi...
sampailah pada batas sensitif moralitas wanita.....
saya ikut merasakan kecewa, marah, dan sedih.
Karena ternyata yang kamu punya hanya ego dan nafsu yang kamu bagi dengan mata uang cinta. Jika memang pria adalah pemimpin, maaf. Bagi saya kamu tidak pantas mendapatkan jeruk manis.
Silahkan menjadi penabur, namun taburkanlah iman dan kebaikan kepada dia yang kamu cintai dan ingin kamu jadikan istri. Percuma membicarakan kebenaran kepada orang-orang yang mengelilingimu, karena kebenaran ada dalam tanggungan.
Kebodohannya pada hari itu adalah, membiarkan sang pembeli membawa tangannya ikut serta dibawa pergi. Bukan jeruk manis yang telah lama dia peram, ia jaga supaya manis dan layak dibeli.
*saat tersesat dalam labirin nafsu, saat menempuh jalan yang berbeda, kendaraan yang paling agung bagi wanita adalah iman. Semoga Tuhan selalu menyanyangi ia, yang sedang lupa memarkir kendaraannya..