Aliran Mu'tazilah


MAKALAH ILMU KALAM
ALIRAN MU'TAZILAH  
                                                                    


Disusun Oleh: Nurfauzy Abdillah (1134010092)




FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014



 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Akan tetapi banyak orang yang mendewakan keberadaan akal tersebut diatas segalanya,sehingga banyak kaum muslimin yang terpecah dan berpaling dari agama yang telah diajarkan Rasulullah. Akibatnya timbulah persoalan-persoalan  yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin yang melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka.Permasalahan ini bermula ketika peristiwa tahkim antara kubu Ali dan Muawiyah yang memunculkan masalah  tentang konsep “kafir”bermunculan pulalah aliran–aliran pemikiran kalam ,mulai dari khawarij yang berpendapat bahwa orang berdosa besar adalah kafir. Kemudian muncul aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Adapun aliran Mu’tazilah, bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi pula bukan mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir.
Diantara banyaknya aliran kalam yang bermunculan, Aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang paling memberikan daya besar terhadap akal dan bercorak rasional juga dianggap menyimpang yang sampai saat ini penyimpangannya dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Oleh karena itu kita perlu mengetahui tentang Aliran Mu’tazilah dengan tujuan agar tidak ikut terjerumus ke dalamnya. Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah menurut hemat penulis sepertinya terus berkembang, tentunya dengan gaya baru dan dengan nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabui orang yang membacanya. Sebut saja  istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana awal munculnya aliran Mu’tazilah ?
2.     Bagaimana pokok-pokok ajaran aliran Mu’tazilah
3.     Bagaimana perkembangan aliran Mu’tazilah di Indonesia?
4.     Bagaimana perbandingan aliran Mu’tazilah dengan aliran lain?

C.    Tujuan Penulisan
1.     Untuk mengetahui awal munculnya aliran Mu’tazilah
2.     Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran aliran Mu’tazilah
3.     Untuk mengetahui perkembangan aliran Mu’tazilah di Indonesia
4.     Untuk mengetahui perbandingan aliran Mu’tazilah













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar belakang munculnya aliran Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri.[1] Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi sesuatu) seperti dalam ayat:

فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
Artinya:
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[2]
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
1.     Golongan pertama disebut Mu’tazilah I: Muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubair dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah. Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[3]
2.     Golongan kedua disebut Mu’tazilah II: Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua ini terdapat beberapa versi, di antaranya:
1.     Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[4]
2.     Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.[5]
3.     Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah. [6]
Ketika pertama kali muncul, aliran Mu’tazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Mu’tazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim). Jika Al-Qur’an dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Allah, dan ini hukumnya syirik.[7]
Pada umumnya ulama berpendapat bahwa tokoh utama Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Atha’. Ia adalah seorang peserta dalam forum ilmiah Hasan Al-Basri. Dalam forum ini muncul masalah yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah pelaku dosa besar. Wasil berkata dalam menentang pendapat Hasan. Kami juga berpendapat bahwa madzhab ini sudah ada lebih dahulu sebelum kisah washil, walaupun banyak ahlu bait yang menempuh pola pikir yang sama dengannya, seperti Zaid Ibn Ali yang merupakan teman dekat washil. Washil sendiri adalah salah seorang penyiar paham iniyang menonjol sehingga kebanyakan ulama memandang dialah tokoh utamanya. Sebagian orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka terdiri dari orang–orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup bersenag-senang. Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang yang menyandang predikat itu adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia. Sebenarnya tidak semua penganut paham ini seperti itu, tetapi sebagiannya bertaqwa dan ada pula yang dituduh melakukan pekerjaan–pekerjaan maksiat, banyak yang baik dan ada pula yang jahat.[8]
Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua cabang yaitu:
1.     Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil, Hafasah bin Salim, dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
2.     Di Bagdad (Iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Murdan, Ahmad bin Abi Daud,(w.240 H), Ja’far bin Mubasysyar (w.234 H), dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (w. 235 H)[9]
Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke-2 dan ke-3. Di Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang tereang-terangan menganut aliran ini dan mendukunhnya adalah:
1.     Yazid Bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
2.     Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3.     Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4.     Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)

B.    Pokok-pokok ajaran Aliran Mu’tazilah
1.     At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[10]
Untuk memurnikan keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani  mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim, berarti telah menduakan tuhan”[11]. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.
Apa yang disebut dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat tuhan itu sendiri. Abu Hudzail, sebagaimana di kutip oleh Musthafa Muhammad, berkata “Tuhan mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaannya, dan kekuasaan itu adalah tuhan itu sendiri”.[12]
Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan tuhan adalah tuhan itu sendiri, yaitu dzat dan esensi tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzatnya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-qur’an itu baru (diciptakan), Al-qur’an adalah manifestasi dari kalam tuhan, Al-qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.
Harun Nasution mencatat perbedaan antara Al-jubba’I dengan Abu Hasyim  adalah pernyataan bahwa “tuhan mengetahui dengan esensinya”. Menurut al-Jubba’i, arti pernyataan tersebut adalah untuk mengetahui bahwa tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut abu hasyim, pernyataan tersebut berarti tuhan memliki keadaan mengetahui, sungguhpun demikian, mereka sepakat bahwa tuhan tidak memilikki sifat. [13]
Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu al-Hudzail mengambil konsep nafy ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles.[14]
Agaknya beralasan, bila para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid (pengikut faham keadilan dan keesaan tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah dan menempatkannya benar-bemar adil. Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai tuhan. Begitu pula sebaliknya, tuhan tidaklah sama dengan makhluknya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itut tidak layak baginya setiap atribut materi. Segala mengesankan adanya kejisiman tuhan, bagi mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan nya. Tegasnya, mu’tazil antropomorfisme.[15]
Penolakan terhadap faham antropomorfostik bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Artinya: “tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”(QS. Asy syuraa 42:11)

Memang tidak dapat dibantah bahwa mu’tazilah sebagaimana aliran lain , telah terkena pengaruh filsafat yunani, namun hal itu tidak menjadikannya sebagai pengikut buta hellenisme. Usaha keras mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi benar-benar membuahkan hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran hellenistik yang telah mereka pelajari, dijadikan senjata mematikan terhadap serangan para penentangnya,yakni para muhadditsin rafidah manichscanisme, dan berbagai aliran keagamaan yang lain di India.[16]
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman tuhan. Mereka mamalingkan arti kata-kata tersebut pada arti kata yang lain, sehingga hilanglah kejisiman tuhan. Tentu saja pemindahan ini dilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini, misalnya kata-kata tangan (Q.S shad 38:75) diartikan “kekuasaan”. Pada konteks yang lain (Q.S. al-Maidah 5:64) di artikan “nikmat”. Kata wajah ((Q.S. ar-Rahman 55:27) diartikan “esensi” dan “dzat”, sedangkan al-asyri ((Q.S. Thaha 20:5) diartikan “kekuasaan”.[17]
Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropomorfisme. Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan yang memiliki ruang saja. Andaikan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akherat, tentu diduniapin dia dapat dilihat oleh mata kepala.[18] Oleh karena itu,melihat (Q.S. al-Qiyamah 75:22-23) di takwilkan dengan “mengetahui”.
2.     Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/ melanggar janjinya.[19] Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
a.      Perbuatan manusia
Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara langsung atau tidak.[20]
Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
b.     Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain, berarti tuhan tidak adil. Dengan sendirinya, tuhan juga tidak maha sempurna. [21]
Bahkan menurut An-Nazam, salah satu tokoh mu’tazilah, tuhan tidak dapat berbuat jahat. [22]Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya, bila tuhan tidak bertindak seperti itu berarti dia tidak bijaksana, pelit dan kasar/kejam.[23]
c.      Mengutus rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-alasan berikut ini :
1.     Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
2.     Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus rasul
3.     Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus rasul.[24]
3.         Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.[25]

Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya.[26]Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa
4.     Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.

Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).[27]”Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.[28]

Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mu’min secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak cukup hanyadengan pengakuan dan pembenaran. Bagi pelaku dosa besar, tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan dan rasulnya, dan masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum bertobat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang fasikpun akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir. Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”. Tampaknya disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa, baik besar maupun yang kecil.
5.     Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al-amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini:
a.      ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu adalah munkar
b.     ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
c.      ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy mun’kar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
d.     ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan diri dan hartanya.[29]
Al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar bukan monopoli Konsep mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena Mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifiknya, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah.[30] Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan.[31]



Beberapa I’tiqad kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah yaitu:
1.     Mereka berpendapat bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh akal dan bukan oleh syariat. Dengan demikian dalam pandangan mereka akal menduduki kedudukan yang lebih tinggi daripada syariat.
2.     Mereka mengatakan bahwa tidak memiliki sifat, Apa yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah berupa asma dan sifat Allah merupakan sekedar nama yang tidak memiliki pengaruh sedikitpun dari nama tersebut. Dengan demikian mereka menafikan adanya sifat-sifat tinggi dan mulia bagi Allah.
3.     Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar dari golongan mukmin, maka dia tidak disebut lagi sebagai seorang mukmin, namun juga tidak disebut kafir. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa besar, ia tetap sebagai mu’min yang berbuat kefasikan.
4.     Mereka berpendapat bahwa Allah tidak dapat dilihat nanti pada hari kiamat (ketika dalam surga), karena hal itu akan menimbulkan pendapat, seolah-olah Allah berada dalam surga atau Allah dapat dilihat. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa orang-orang beriman yang telah masuk surga akan dapat melihat Allah sesuai dengan (Q.S. Al- Qiyamah : 22-23)
5.     Mereka tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad mi`raj dengan ruh dan jasadnya.
6.     Mereka berpendapat bahwa manusialah yang menjadikan pekerjaannya, dan Allah sama sekali tidak ikut campur dalam perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
7.     Mereka tidak meyakini adanya ‘Arsy dan Kursi’ Mereka mengatakan bahwa jika keduanya benar-benar sebesar itu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, jika kedua benda tersebut. Mereka mengatakan kedua benda tersebut hanyalah sekedar menggambarkan kebesaran dan keagungan Allah.
8.     Mereka juga tidak mengakui adanya malaikat “Kiraman Katibin” atau malaikat Rajib dan Atid. Mereka berpendapat bahwa ilmu Allah telah meliputi segalanya, sehingga tidak perlu lagi adanya pembantu dari kalangan malaikat.
9.     Mereka tidak meyakini adanya mizan, hisab, shirat, al- haudh dan syafa`at pada hari kiamat kelak.
Aliran atau sekolah pemikiran yang menegaskan bahwa berasio dengan logika adalah azas yang paling baik dalam melakukan sesuatu tindakan ataupun menyelesaikan masalah. Dalam hubungannya dengan pemikiran Islam, rasiolisme merupakan aliran yang pertama muncul sebagai respon terhadap kitab ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan penggunaan akal. Aliran rasionalis ini seiring dihubungkan dengan Mu`tazilah yang dipelopori oleh Washil Ibn Atha` Al- Gazzal (689-749 M) murid kepada Hasan Al- Basri (642-728 H).  Hasan Al- Basri adalah seorang tabiin dengan sering kali diberi julukan sebagai imam pada zamannya. Apbila dihubungkan dengan istilah salaf dan berpegang dengan sunah, Hasan A- Basri adalah salah seorang dari kalangan mereka.
Gagasan Rasionalisme/ Mu`tazilah.
Memberi keutamaan kepada akal dalam memahami ajaran Quran serta hadis. Kebebasan akal terikat pada ajaran-ajaran mutlak Quran dan Sunah, yaitu ajaran yang termasuk dalam istilah Qat`iy al-wurud dan Qat`iy al-dalalah.
Maksud Quran dan hadis difahami sesuai dengan pendapat akal.
“Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam Quran dan Hadis”. Oleh Prof. Harun Nasution.
C.    Konsep pemikiran aliran Mu’tazilah
Kelompok Mu’tazilah dalam memecahkan berbagai masalah cenderung memberikan daya kuat terhadap akalnya.Beberapa aliran kalam memiliki pandangan tersendiri dalan permasalahan tersebut,akan tetapi disini hanya aka dibahas sebatas pandangan aliran Mu’tazilah saja.Berikut persoalan-persoalan kalam dan pemecahannya menurut aliran Mu’tazilah:
1.     Iman dan Kufur
         Permasalahan tentang kufur telah dibahas pada bagian sebelumnya,Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar tidaklah mukmin tapi tidak pula kafir,melainkan berposisi diantara keduanya atau yang mereka sebut “Fasiq”.
         Bersamaan dengan perdebatan tentang konsep kafir,persoalan iman juga diperdebatkan.Mu’tazilah berpendapat bahwa iman bukan hanya sekedar Tashdiq (pembenaran terhadap apa yang didengar) melainkan meliputi Ma’rifah (mengetahui benar apa yang diyakini) dan amal (perbuatan yang timbul sebagai akibat mengetahui Tuhan)
2.     Akal dan Wahyu
         Persoalan dalam hal ini terletak pada kemampuan akal manusia dan fungsi wahyu untuk mengetahui Tuhan,Masalah utamanya ialah Mengetahui Tuhan,Kewajiban Mengetahui Tuhan,Mengetahui baik dan jahat,dan kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat.
         Bagi Mu’tazilah akal mampu mengetahui masalah diatas,namun pengetahuan akal tidaklah bersifat lengkap dan utuh.Abd Al-Jabar,salah seorang pemuka Mu’tazilah mengatakan bahwa tidaklah semua yang baik dapat diketahui dengan akal.Demikian juga dalam mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban,sebetulnya Mu’tazilah tidak tahu cara tepatnya.Dengan demikian wahyu dapat menyempurnakan pengetahuan akal dan menerangkan apa yang belum diketahui oleh akal.
3.     Kebebasan Manusia
         Permasalahan dalam hal ini terletak pada posisi manusia dihadapan Tuhan,Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan perbuatannya.Adapun daya atau energi yang merupakan modal atau potensi untuk mewujudkan kehendak atau melakukan perbuatan,telah diberikan Tuhan sejak awal.Ayat Al-Qur’an yang dijadikan pijakan oleh Aliran Mu’tazilah ialah Qs.Al-Kahfi 29:
     “...............Maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman dan barang siapa yang ingin kufur biarlah ia kufur.......................”
Ayat ini memberi kebebasan manusia untuk percaya atau tidak percaya.Sekiranya perbuatan manusia bukan sebenarnya perbuatan manusia  maka ayat ini tidak ada artinya.
Demikian juga ayat-ayat lain seperti Qs,As-Sajdah 7,17,Qs.An-Nisa 79,Qs.Al-Baqarah 108,Qs.At-Taubah 72,Qs.Qs.Al-Ahqaf 14,Qs.Ath-Thagabun 2.
4.     Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
         Fokus persoalan dibidang ini ialah apakah kekuasaan dan kehendak Tuhan mutlak atau terbatas. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak semutlak-mutlaknya tetapi terbatas karena Tuhan telah memberikan kebebasan pada manusia dalam menentukan perbuatannya.Maka Tuhan Tidak bisa berbuat sekehendaknya,jika Tuhan melanggarnya berarti Tuhan tidak adil bahkan zalim.Sebab lainnya ialah kekuasaan dan kehendak Tuhan dibatasi oleh “Hukum Alam”.Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sudah dibatasi lewat hukum-hukum yang tersebar dialam itu.Setiap benda memiliki hukum alam tersendiri yang menimbulkan efek tertentu  menurut naturnya masing-masing.
5.     Keadilan Tuhan
    Aliran Mu’tazilah melihat keadilan Tuhan dari sudut pandang kebebasan manusia,keadilan Tuhan terletak pada pemenuhan hak-hak manusia sesuai dangan kebebasan yang telah diberikan oleh Tuhan.Pemenuhan  hak itu bisa meliputi janji (memberikan pahala pada manusia yang telah berbuat baik),memberikan yang terbaik untuk manusia,memberikan beban sebatas kemampuan manusia.
    Ayat yang menjadi sandaran aliran Mu’tazilah ialah Qs.Al-Anbiya 47,Qs.Yasin 54,Qs.Fushilat 46,QsAn-Nisa 40,Qs.Al-kahfi 49
6.     Perbuatan Tuhan
    Persoalan disini terletak pada apakah perbuatan tuhan terbatas pada hal-hal yang baik saja atau mencakup juga pada hal-hal yang buruk.
Bagi aliran Mu’tazilah,perbuatan Tuhan terbatas pada hal-hal yang baik saja,ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk,Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia tahu keburukan dari perbuatan tersebut.Karena terbatasnya perbutaan Tuhan pada hal-hal yang baik saja,Mu’tazilah berpendapat bahwa wajib bagi Tuhan wajib berbuat baik dan terbaik bagi manusia
7.     Sifat-Sifat Tuhan
    Fokus permasalahan ini berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan,ayat-ayat anthropomorphisme(ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan sama seperti makhluk) dan persoalan tentang melihat Tuhan.
    Bagi aliran Mu’tazilah,Tuhan tidaklah memiliki sifat.Tuhan tetap mengetahui,melihat,mendengar daan sebagainya.Semua itu bukan lewat sifat melainkan  dengan zat esensi Tuhan itu sendiri.
    Mengenai masalah Anthropomorpisme,karena  menurut mereka Tuhan tidak memiliki sifat apalagi sifat jasmani,maka ayat yang menggambarkan Tuhan memiliki sifat jasmani haruslah diberikan interpretasi lain.misalnya Qs.Az-zumar ayat 67:
“.........Dan langit digulung dengan tangan kananNya.........”
kata yamin diartikan kekuatan
    Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala.Alasannya adalah Tuhan tidak mengambil ruang,maka tidak bisa dilihat,selain itu jika Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala tentu Tuhan dapat dilihat didunia ini.Mereka menyandarkan pendapatnya pada Qs.aAl-an’am 103 :
“Penglihatan tidak bisa mencapaiNya tapi Dia capai segala penglihatan..”
 Dan Qs.Al-qiyamah 22-23
“Wajah-wajah hari itu bercahaya.”
“Kepada Tuhanlah mereka melihat”
Kata Nadzirah yang lazim diartikan ’’melihat’’ difahami dengan ”menunggu”.Pada hari itu wajah-wajah menjadi berseri-seri karena menunggu pahala yang akan diberikan Tuhan.



[1] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, (Bairut: Darul Kitab, t.t), hal. 207
[2] Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 489


[3] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 77

[4] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 48
[5] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam.. hal. 78
[6] Ibid
[7] Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab…hal. 505
[8] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos Publishing House, 1996) , cet.1 hal.150
[9] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 165


[10] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…,hal. 80
[11] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal…, hal. 46
[12] Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab…, hal. 509
[13] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 135-136

[14] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…,hal. 81
[15] Ibid, hal. 82

[16] Ibid
[17] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam…hal. 178-179

[18] Ibid
[19] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…,hal. 83
[20] Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 122
[21]  Ibid
[22] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal…, hal. 54
[23] Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah…, hal. 128
[24] Ibid
[25] Ibid, hal. 138-139
[26] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…,hal. 85

[27] Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 53
[28] Ibid
[29] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…,hal. 87
[30] Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan…hal. 257-258
[31] Ibid, hal. 259

No comments:

Post a Comment

 

Catatan Gadis Puisi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review