MAKALAH TASSAWUF
PENGARUH PUASA TERHADAP KESEHATAN MENTAL DAN ROHANI
Diajukan untuk memenuhi salah tugas UAS
mata kuliah Ilmu Tassawuf
Disusun Oleh:
Nurfauzy Abdillah (1134010092)
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
JURUSAN
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan modern dewasa ini banyak individu secara
lahiriyah tampak sehat, terpenuhi segala macam kebutuhan material. Tetapi
apabila ditelusuri lebih jauh, fakta menunjukan bahwa sebagian besar individu
yang hidup di tengah-tengah masyarakat tersebut menderita penyakit mental yang
cukup parah, sehingga pada stadium berikutnya akan mengerogoti ketahanan fisik.
Gangguan mental dapat berakar dari tidak terpenuhinya kebutuhan psikis dasar
yang berasal dari kekhasan eksistensi manusia yang harus dipuaskan, tetapi cara
memuaskan psikis itu bermacam-macam, dan perbedaan cara pemuasan kebutuhan
tersebut serupa dengan perbedaan tingkat gangguan mental.
Seiring perkembangan pemikiran dan peradaban manusia,
perhatian manusia terhadap kesehatan mental semakin meningkat, sebab manusia
semakin sadar bahwa kehidupan yang layak adalah manakala seseorang dapat
menikmati hidup ini bersama-sama, berdampingan dengan orang lain. Kehidupan
seseorang yang mengalami gangguan mental, tidak kurang pedihnya dari penyakit
jasmani.
Sejarah mencatat, puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dalam
masyarakat manusia, yakni sejak manusia pertama Adam as. hingga umat terakhir
dari segala Nabi dan rasul Muhammad saw. (Moede, 1990:14). Puasa sangat
berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitu latihan
keruhanian, sehingga semakin berat, semakin baik, dan utama, maka semakin kuat
membekas pada jiwa dan raga seseorang yang melakukannya. Kekhasan ibadah puasa
adalah sifatnya yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara
seseorang manusia dengn Tuhannya. Puasa merupakan latihan dan ujian kesadaran
akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (ompripresent) dan yang mutlak tidak pernah
lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap tingkah laku hamba-hamba-Nya.
Kesadaran seseorang akan beradaan Tuhan itu akan menjadikan dirinya senantiasa
mengontrol emosi serta perilakunya, sehinga muncul keseimbangan lahiriyah dan
batiniyah.
Bila ibadah puasa ditelaah dan direnungkan akan banyak sekali
ditemukan hikmah dan manfaat psikologisnya. Misalnya saja, bagi mereka yang
senang berpikir mendalam dan merenungkan kehidupan ini, maka puasa mengandung
falsafah hidup yang luhur dan mantap, dan bagi mereka yang senang mawas diri
dan berusaha turut mengahayati perasaan orang lain, maka mereka akan
menemukan prinsip-prinsip hidup yang
sangat berguna. Disadari atau tidak disadari, puasa akan berpengaruh positif
kepada rasa (emosi), cipta (rasio), karsa (will), karya (performance), bahkan
kepada ruh, jika syarat dan rukunnya dipenuhi dengan sabar dan ikhlas
(Bastaman, 1995:181).
Puasa merupakan momentum berharga untuk menghadirkan
mental yang sehat, sebab dalam puasa terkandung latihan-latihan kejiwaan yang
harus dilalui, misalnya berlaku jujur dengan menahan lapar dan dahaga baik di
kala bersama orang lain mapupun saat sendirian. Sesuai dengan firman Allah:
يآ أيّها الّذين آمنُوا كُتِبَ
عَليْكُمُ الصِّيامُ كما كُتِبَ على الّذين مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُوْنَ
”
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja aspek-aspek pengendalian diri dalam ibadah
puasa?
2.
Bagaimana pengaruh puasa dan pengendalian diri dalam
perspektif kesehatan mental?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui aspek-aspek pengendalian diri dalam
ibadah puasa
2.
Untuk mengetahui
pengaruh puasa dengan pengendalian diri dalam perspektif kesehatan mental
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
HAKIKAT PUASA
1.
Definisi
Secara bahasa puasa berarti menahan diri dari segala
sesuatu. [1]
Pengertian lain menjelaskan bahwa puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang
membatalkan, satu hari lamanya dari terbit fajar sampai terbenam matahari
dengan niat dan beberapa syarat. [2]
Sedangkan definisi puasa menurut istilah adalah menahan
diri, berpantang atau mengenalikan diri makan, minum dan bercampur dengan istri
atau suami yang didahului dengan niat dari terbit fajar sampai matahari
tenggelam. Dari pengertian ini menunjukan dua hal, pertama, menahan nafsu
makan, minum dan aktivitas seksual pada siang hari, sebagai syarat minimal
puasa. Kedua, puasa harus disertai dengan niat yang ikhlas. Puasa yang sempurna
adalah meninggalkan hal-hal yang tercela dan tidak melakukan hal-hal yang
dilarang oleh agama.[3]
Puasa dalam bahasa Arab di sebut al-shaum yang berarti
menahan (imsak). Sedangkan secara terminologis, puasa adalah suatu ibadah yang
diperintahkan Allah kepada hamba-Nya yang beriman dengan cara mengendalikan
diri dari syahwat makan, minum, dan hubungan seksual serta perbuatan-perbuatan
yang merusak nilai puasa pada waktu siang hari sejak terbit fajar sampai
terbenam matahari (MUI DKI Jakarta, 2006: 15).
Secara syara’, dalam kitab Fathul Qorib dijelaskan bahwa:
وشرعا امساك عن مفطر بنية مخصوصة جميع
نهار
Artinya, secara syara’, puasa adalah menahan diri dari
sesuatu yang membatalkan puasa, dengan niat tertentu, mulai dari terbitnya
fajar sampai tenggelamnya matahari.
Puasa
adalah rukun Islam keempat dari lima rukun Islam yang dijelaskan Rasulullah saw
dalam haditsnya
“Islam di bangun atas lima (dasar):
Bersaksi tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan
zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi
orang yang mampu menempuh perjalanan kesana” (H.R. Mutaffaq Alaih)[4]
2.
Hikmah Puasa
Hikmah
Puasa menurut al-Jurjawi Dalam Kajian Aksiologi
Sebagaimana
telah diuraikan di atas bahwa puasa itu ternyata banyak mengandung banyak
hikmah bagi yang melakukan sesuai dengan aturan. Dalam hal ini penulis akan
mencoba mengupas persoalan puasa menurut al-Jurjawi secara kajian aksiologi.
a)
Nilai Spiritual (Hubungan dengan Tuhan)
Nilai
aspek spiritual adalah nilai ketuhanan yang terkandung dalam ibadah sebagai
jalan menghubungkan manusia dengan Tuhannya, sebagaimana diutarakan al-Jurjawi
dalam kitabnya Hikmah al-Tasyri Wa Falsafatuhu, mengatakan bahwa :
1.
Puasa adalah sebagai salah satu bentuk terima kasih pada
Allah SWT. [5] Rasa terima kasih yang dimaksud di sini bisa
dikatakan sebagai suatu bentuk rasa syukur menusia kepada Tuhannya atas segala
nikmat yang telah banyak diberikan dan tidak terhitung jumlahnya. Rasa terima
kasih tersebut dibuktikan dengan cara melaksanakan puasa.
2.
Puasa sebagai ajang untuk dapat menjadikan manusia supaya
lebih bertakwa, atau suatu cara berlatih untuk selalu dapat mengerjakan segala
apa yang diperintahkanNya dan mampu menjauhi segala laranganNya dengan jalan
melaksanakan puasa sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah dan bukan
aturan yang ditetapkan manusia. Hal-hal
yang terkait dengan segala aturan pada saat manusia melaksanakan puasa, seperti
diperbudak oleh makanan dan minuman,
hubungan seks dan segala
perbuatan yang bersifat keji (mencuri, berdusta, menfitnah dan sebagainya), itu
semua harus dapat dijauhi dalam rangka memperoleh suatu kenikmatan yang lebih
dari hal itu.
3.
Puasa juga bisa menepis sifat kebinatangan yang ada pada
manusia, yaitu sifat yang hanya bergairah kepada makan dan minum serta
semisalnya. Puasa bisa menjadi sebuah
cara yang bagus untuk dapat melatih manusia terutama yang beriman untuk dapat
menahan diri dari yang hanya memperturutkan nafsu belaka dan menjaga manusia
dari segala perbuatan keji yang hanya berbau sifat binatang tersebut. Sehingga
nantinya akan menjadi suatu alat yang mudah untuk mengangkat derajat manusia
untuk selalu di atas dibanding dengan makhluk-makhluk yang lain, disebabkan
manusia tersebut telah memiliki jiwa yang bagus. Kejiwaan yang bagus akan
berpengaruh pada pelaksanaan ibadah, manusia tesebut akan lebih mudah ke arah
kebaikan (sifat Malaikat) daripada ke arah kejelekan (sifat binatang),
disebabkan kebiasaan latihan kejiwaan pada saat berpuasa. Pendek kata orang
yang berpuasa menjadikan hubungan manusia dengan Allah terasa lebih akrab, hal
itu menjadi bukti betapa benarnya kata-kata Allah bahwa Ia lebih dekat dengan
kita daripada urat leher kita. Maka
dengan jalan berpuasa diharapkan orang akan lebih mudah memelihara, menjaga,
bisa memagari dirinya dari segala godaan keduniawian yang menyesatkan.[6]
b)
Nilai Sosiologis (Hubungan antar Manusia)
Salah
satu bentuk jiwa keberagamaan yang telah lama dikembalikan umat Islam pada
periode awal (Nabi dan Sahabatnya) adalah sikap keberagamaan yang intrinsik,
artinya aktualisasi ajaran agama tidak hanya bersifat formalitas belaka, tetapi
juga mampu menyentuh substansi dari suatu ibadah. [7]
Kaitanya
aspek sosiologis puasa adalah satu bentuk cara mengingatkan orang kaya kepada
penderitaan fakir miskin sehingga diharap nantinya ia mampu mengasihi dan
menyanyangi, yakni dengan cara ditempatkannya orang kaya dalam kesempitan.
Dengan tujuan orang tersebut bisa sekaligus ikut merasakannya, dengan prinsip
bahwa cara untuk mengetahui perasaan orang lapar maka orang tersebut harus ikut
berlapar-lapar secara bersama-sama,
tidak memandang antara orang miskin ataupun kaya.
c)
Nilai Kesehatan
Hikmah
puasa bagi kesehatan seperti yang diutarakan al-Jurjawi, adalah dalam rangka
membersihkan perut dari berbagai kotoran, disebabkan perut adalah sumber dari
segala penyakit. Oleh karenanya pemeliharaan perut adalah awal dari segala
pengobatan sekaligus keinginan mendapat keseimbangan tubuh. [8]
Hal
itu seperti yang dikatakan ahli medis bahwa sesungguhnya puasa itu bisa menjadi
pengaman yang baik dari berbagai macam penyakit yang kronis dan penyakit yang
menular.
Dari
uraian singkat diatas, maka dapat dianalisa bahwa dengan puasa dapat menjadikan
tubuh sehat dan juga menyembuhkan dari berbagai penyakit. Hal tersebut telah
dibuktikan oleh banyak orang yaitu hasilnya sangat berpengaruh terhadap
kesehatan tubuh manusia tersebut. Sehingga puasa yang dilakukan tersebut dapat
menjadikan terapi bagi sekian banyak penyakit, bahkan mampu menjadi faktor
kesembuhan bagi penyakit yang telah diperkirakan secara medis sulit
disembuhkan.
Puasa
yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit telah terbukti sejak zaman dulu,
sampai sekarang yang justru semakin dikembangkan sebab buktinya memang nyata
dapat dirasakan.
d)
Nilai Psikologis (kejiwaan)
Peranan
puasa kaitannya dengan psikologis adalah jalan untuk dapat mengendalikan diri.
Pengendalian diri adalah salah satu syarat utama bagi jiwa yang sehat, dan
manakala pengendalian diri seseorang terganggu maka akibatnya akan timbul
berbagai reaksi kelainan, baik dalam alam fikir, alam perasaan maupun alam
perilaku bersangkutan, dan juga berpengaruh pada kesehatan fisik. Reaksi yang
ditimbulkannya tidak saja menimbulkan subyektif pada dirinya tetapi juga dapat
mengganggu lingkungan serta orang lain di dekatnya. [9]
Islam
mensyari’atkan puasa dengan maksud agar manusia dapat hidup yang lebih baik,
khususnya untuk menjaga psikologis manusia agar tidak mudah terganggu. Puasa
sebagai suatu cara yang terbaik untuk menguatkan jiwa dengan cara mengendalikan
syahwat supaya tidak melampui batas.
Puasa
secara psikologis dapat dipahami secara aksiologi, yaitu puasa bisa menjadi
suatu cara untuk melatih kedisiplinan manusia. Puasa juga merupakan latihan
ajaran moral yang paling tinggi dalam kehidupan manusia dan sekaligus bisa
menjadi tahap pembelajaran, bahwa sesungguhnya manusia untuk mendapatkan suatu
kenikmatan yang hakiki, maka sebelumnya harus diawali dengan berhadapan dengan
suatu penderitaan dan berusaha dengan sungguh dapat melintasi cobaan tersebut,
daripada tenggelam ke dalam apa yang tidak diperbolehkan kepadanya.
e)
Aspek Kesehatan Mental
1.
Puasa sebagai pencegah gangguan kejiwaan
Pakar
ilmu jiwa menyimpulkan yang mendorong atau meltar belakangi manusia bertindak,
berperilaku, dan bekerja adalah berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang dapat
dibagi kepada dua macam,[10]
yaitu:
a)
Kebutuhan jasmani
Kebutuhan
jasmani merupakan kebutuhan pokok dari kebutuhan manusia, jika kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi kan terguncang rasa sakit. Diantara kebutuhan yang
dirasakan manusia adalah makan, minum,
dan seks. Proses jasmani ini berjalan terus menerus mulai dari lahir
sampai tua.
Puasa mengurangkan kesempatan untuk makan dan
berkurangnya makanan dan minuman yang masuk, maka akan berkurang otot-oot dalam
tubuh manusia sehingga dorongan hawa nafsu akan menurun pula.[11]
Salah satu tujuan dari puasa ialah mengalahkan musuh-musuh
Allah yaitu setan. Setan itu masuk ke dalam manusia melalui syahwat. Syahwat
itu biasa kuat sebab makan dan minum. Cara untuk mencegah setan ialah dengan
sedikit makan atau berpuasa. [12]
Kebutuhan seks juga tidak dipelajari akan tetapi
kebutuhan mulai dirasakan apabila manusia sudah mencapai kematangan tertentu,
yang dimulai dari masa remaja. Dirasakan kebutuhan tersebut juga menimbulkan
ketegangan tertentu pada tubuh. Hal inilah yang mendorong manusia mencari jalan
untuk memenuhinnya.[13]
Diantara hikmah puasa yang terpenting ialah
memperkuat mental, sehingga dapat
menguasai dorongan yang datang dari dalam diri berupa dorongan biologis, maupun
kegoncangan emosi yang diakibatkan oleh tidak tersalurnya dorongan biologis
itu.
b)
Kebutuhan rohani
Dari
segi kejiwaan, diakui bahwa suatu kebiasaan dalam memenuhi kebutuhan akan
mendorong orang untuk melakukannya pada waktu-waktu yang telah menjadi
kebiasaannya itu. Sebabnya adalah karena pemenuhan kebutuhan tersebut
mendatangkan kepuasan dan kelegaan. Apabila manusia mampu mengendalikan diri
dalam mengehadapi kebutuhan-kebutuhan yang pokok tersebut, ia akan melakukan
pelanggaran terhadap hak orang lain dan selanjutnya akan menyebabkan
pertengkaran, perkelahian bahkan yang dapat membahayakan orang banyak. [14]
2.
Puasa sebagai pembinaan kesehatan mental
Yang
dituntut oleh puasa adalah kejujuran terhadap diri sendiri disamping jujur
kepada orang lain. Karena puasa itu ibadah batin yang tidak biasa disaksikan
oleh panca indera dengan ibadah lain yang hanya yang mengetahui ialah Allah swt
Sifat
jujur telah tertanam pada diri seseorang, maka dirinya akan merasa tentram, ia
tidak akan dihinggapi oleh rasa takut atau rasa dosa, karena segala sesuatu
jelas dan tidak ada yang palsu yang disembunyikan.
Dalam
ilmu kesehatan mental, terdapat suatu cara penyesuaian diri yang tidak sehat
disebut pembelaan (sanicity), yaitu orang yang tidak berani mengaku kepada
dirinya sendiri bahwa ia telah melanggar nilai-nilai yang dianutnya sendiri. [15]
Ibadah
puasa mencegah terjadinya gangguan-gangguan kejiwaan. Nilai puasa itu
benar-benar menjangkau lubuk yang terdalam pada diri manusia yang menunjang
kepada pembinaan akhlak mulia.
3.
Puasa sebagai pengobatan terhadap gangguan kejiwaan
Pengobatan
kejiwaan yang paling baik adalah menghilangkan penyebab terjadinya angguan
tersebut. Diantara penyebab gangguan kejiwaan yang banyak terdapat adalah rasa
berdosa atau bersalah dan rasa dendam. Penderitaan yang amat berat adalah
merasa berdosa, ia telah mencoba mohon ampun kepada Allah swt, namun rasa
berdosa dan penyesalan tidak hilang juga. Maka laksanakanlah puasa, terlebih
lagi di bulan Ramadhan dengan tekun serta perbanyak ibadah, amal shaleh dan
mohon ampun kepada Allah swt. [16]
B. HAKIKAT PENGENDALIAN
DIRI
1.
Definisi
Pengendalian Diri adalah menahan diri atau menjaga dari sesuatu
yang bersifat merugikan. Pengendalian diri dapat dicapai dengan mencurahkan
segalaa usaha, kekuatan, dan kemampuan dengan penuh kesungguhan dalam menahan
atau menjaga diri dari musuh yang ada dalam diri sendiri, berupa kecenderungan
atau dorongan dari rohani dan jasmani, serta dorongan yang disebabkan oleh hawa
nafsu yang hendak menjerumuskan manusia dari perbuatan tidak terpuji.[17]
2.
Aspek-Aspek Pengendalian Diri Yang Terkandung Dalam
Ibadah Puasa
Ibadah puasa yang disyari’atkan dalam islam mengandung
aspek-aspek pengendalian diri, hal ini karena puasa dapat melatih manusia untuk
mengontrol dorongan naluri fa’ali. Dalam perspektif kesehatan mental, aspek
pengendalian diri dari puasa ini dapat dijelaskan dengan teori psikoanalisa
Sigmun Freud. Menurut Freud, struktur kepribadian yang terbagi atas ID, Ego dan
Super Ego memiliki fungsi-fungsi yang spesifik dalam meng-handle suatu
keinginan individu. Adapaun aspek-aspek pengendalian diri yang terkandung dalam
ibadah puasa antara lain:
a.
Puasa untuk meredam amarah atau kesehatan emosional
b.
Puasa melatih kesabaran
c.
Puasa meningkatkan kecerdasan emosional
d.
Puasa untuk membentuk kematangan diri (konsistensi dan
kejujuran)
3.
Dinamika Kerja Aspek-Aspek Pengendalian Diri Dari Ibadah
Puasa
a.
Hakekat puasa adalah mengendalikan hawa nafsu, atau
penguasaan atas kemauan hati. Saat orang merasa lapar dan tidak bisa
menyalurkan nafsu-nafsu birahinya, biasanya ia mudah sekali marah. Singkatnya,
orang yang berpuasa pada hakekatnya sedang berlatih intensif mengendalikan hawa
nafsunya supaya tidak mudah terjerumus kepada perbuatan dosa dan maksiat, atau
dengan kata lain supaya menjadi lebih bertaqwa.
b.
Puasa mempunyai muatan yang berisikan latihan kesabaran,
ketekunan, dan usaha untuk menahan diri dari berbagai kemungkinan; terjebak
dalam dosa dan maksiat. Jika seseorang menyakiti hatinya atau merugikan
pribadinya, maka kemarahannya dibendung dengan keyakinannya senantiasa bersama
Allah SWT. Puasa yang dapat mengembangkan kecerdasan emosi dan spiritual adalah
puasa yang dilakukan oleh orang yang melihat
segala sesuatu dengan mata hatinya. Sebab apabila puasa dilakukan dengan
hati nurani akan menyingkap seluruh rahasia ketuhanan yang terpancar dari dalam
seluruh jiwa manusia. Hidayah inilah yang akan menuntun dan mempermudah manusia
dalam menghadapi masalah-masalah yang semakin kompleks. Puasa merupakan
pendidikan bagi hati sanubari manusia. Dengan berpuasa seorang muslim selalu
konsisten dengan tingkah laku yang baik dan benar. Dan dapat pula mengendalikan
hati nuraninya sendiri tanpa menghendaki pengaasan atau monitoring dari
siapapun. Seorang muslim yang berpuasa harus mempunyai keyakinan selalu dikawal
dan diawasi oleh Allah.
C.
HAKIKAT KESEHATAN MENTAL
1.
Definisi
Secara etimologi mental berasal dari bahasa latin yaitu
mens atau mentis artinya roh, jiwa, atau nyawa. Dalam bahasa yunani kesehatan
terkandung dalam kata hygiene yang berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan
mental merupakan bagian dari ilmu jiwa. Ada yang berpendapat bahwa kesehatan
mental adalah terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan.[18]
Kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental
baikberupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan
sosial). Kesehatanmental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan
penyakit jiwa.[19]
Kesehatan Mental secara terminologis menunjuk pada dua
maksud yaitu sebagai disiplin ilmu dan kondisi mental yang normal. Dalam studi
ini istilah kesehatan mental dipakai untuk maksud yang kedua, yakni terwujudnya
keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai
kesanggupan untuk menghadapi problem-problem
yang biasa terjadi dan terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin
(konflik).[20]
Pengertian lain tentang kesehatan mental perspektif
psikologi Islami, sebagaimana dikutip oleh Hanna Djumhana Bastaman “Kesehatan
Mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan
lingkungannya berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan mencapai
hidup yang bermakna dan bagian dunia dan akhirat.[21]
2.
Karakteristik Kesehatan Mental
Untuk
melihat dan mencermati karakterisik kesehatan mental, pertama-tama perlu
dikemukakan gambaran mengenai kehidupan mental yang sehat. Seseorang yang
mempunyai kehidupan mental yang sehat umumnya dipandang sebagai pribadi yang
normal. Sebaliknya pribadi yang tidak normal biasnya memiliki mental yang tidak
sehat. Meskipun antara normalitas dan abnormalitas sangat samr batasnya, karena
pola kebiasaan tertentu bisa jadi dipandang abnormal oleh kelompok lain. Namun
secara umum batas antara keduanya dapat ditarik.
Menurut
Kartini Kartono dan Jenny Andari, pribadi yang normal dengan mental yang sehat
adalah pribadi yang dalam kehidupannya akan bertingkah laku kuat (serasi,
tepat) dan bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, sikap hidup sesuai
dengan norma dan pola hidup kelompok masyarakat, sehingga ada relasi
interpersonal dan interpersonal yang memuaskan. [22]
Dengan mengutip pendapat Maslow dan
Mittelman, Kartini Kartono dan Jenny Andari menyebutkan sebelas ciri mengenai
kehidupan mental yang sehat, yaitu:
1. Memiliki rasa aman
yang tepat dan mampu berhubungan dengan orang lain dalam berbagai segi
kehidupan.
2.
Memiliki penilaian dan wawasan diri yang rasional dengan
harga diri yang sedang.
3.
Mempunyai spontanitas dan emosionalitas yang tepat.
4.
Mempunyai kontak dengan realitas secara efisien tanpa
angan-angan yang berlebihan.
5.
Memiliki dorongan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat dan
mampu memuaskannya dengan cara yang sehat.
6.
Mempunyai pengetahuan diri yang cukup, dengan motif-motif
hidup yang sehat dan kesadaran tinggi.
7.
Memiliki tujuan hidup yang tepat, yang bisa diapai dengan
kemampuan diri sendiri.
8.
Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidup.
9.
Mempunyai kemampuan untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dan
kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya,
10. Memiliki sikap
emansipsi yang sehat terhadap kelompoknya dan terhadap kebudayaan.
11. Memiliki integritas
dalam kepriadian yakni kebulatan unsur jasmniah dan rohaniah.
Kesebelas ciri kehidupan
mental yang sehat diatas pada dasarnya merupakan kriteria ideal, yang bahkan
seorang pribadi normal pun tidaak akan bisa diharapkan memenuhi secara mutlak
semua kriteria atau ciri tersebut. Kartini Kartono dan Jerry Andani lebih
menyederhanakan ciri-ciri kehidupan mental yang sehat sebagai berikut:
1.
Integritas kejiwaan
2.
Kesesuaian tingkah laku sendiri dengan tingkah laku
sosial
3.
Adanya kesanggupan melaksanakan tugas-tugas hidup dan
tanggung jawab sosial
4.
Efisien dalam menanggapi hidup[23]
Sementara itu Hanna
Djumhana Bastaman mengemukakakn karakteristik mental sebagai berikut:
1. Bebas dari penyakit
kejiwaan
2.
Mampu secara luas menyesuaikan diri dengan menciptakan
hubungan atar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan
3.
Mampu mengembangkan potensi-potensi pribadi (minat,
bakat, sekap dan sebagainya.) yang baik dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan
lingkungannya.
4. Beriman dan bertaqwa
serta berupaya menerapkan tuntutan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep lain tentang karakteristik kesehatan mental juga
diungkapkan oleh Muhammad Mahmud Menurutnya terdapat delapan macam tanda-tanda
kesehatan mental, yaitu:
1.
Kemampuan ketenangan dan rileks batin dalam menjalankan
kewajiban, baik terhadap dirinya, masyarakat, maupun kepada Allah SWT
2.
Memadai dalam berakivitas
3.
Menerima keadaan dirinya dan orang lain
4.
Adanya kemampuan untuk melihat dan menjaga diri
5.
Kemampuan untuk tanggung jawab, baik tanggung jawab
terhadap keluarga, sosial maupun agama.
6.
Memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan
yang diperbuat
7.
Kemampuan individu untuk membuat hubungan sosial baik
yang dilandasi sikap saling percaya maupun saling mengisi.
8.
Adanya rasa kepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan dalam
mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh.[24]
Menurut Nana Syaoid Sukmadinata, ada tiga komponen utama
dalam kesehatan mental, yaitu: memiliki rasa diri berharga, merasa puas akan
peranan dalam kehidupannya, dan terjalin baik dengan orang lain. Perasaan diri
berharga merupakan hal yang sangat penting dalam kesehatan mental, sebab
mendasari kondisi dari komponen-komponen kesehatan mental lainnya. Perasaan
diri berharga akan memperkuat keberadaan dirinya dalam kehidupannya. Seseorang
yang tidak memiliki perasaan diri tidk berharga, tidak akan memiliki ketenangan
hidup, tidak akan memiliki harapan, banyak diliputi perasaan cemas, ragu, hampa
dan bentuk ketaktentuan lainnya.[25]
Menurut
Trackers ada beberapa alasan mengapa pentingnya perasaan diri berharga, yaitu:
1.
Perasaan diri berharga merupakan landasan bagi penerimaan
diri sendiri dan penerimaan diri sendiri merupakan bekal bagi penerimaan orang
lain. Seseorang memiliki rasa diri berharga karena meraasa memiliki kondisi
badan, psikis, dan perilaku yang baik dan wajar. Dengan kondisi ini, ia
berinteraksi dengan wajar pula dengan individu lainnya.
2.
Sesorang yang memiliki rasa diri berharga, memiliki
bayangan diri yang positif, merasa berguna dan dibutuhkan oleh orang lain.
Perasaan ini bukan saja penting bagi keberadaan dirinya tetapi juga bagi
interaksi dengan orang lain.[26]
Sementara
itu organisasi kesehatan dunia (WHO) 1959 memberika kriteria jiwa atau mental
yang sehat adalah sebagai berikut[27]
1.
Dapat menyesuaikan secara konstruktif pada kenyataan,
meskipun kenyataan itu buruk baginya.
2.
Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahannya.
3.
Merasa lebih puas memberi daripada menerima.
4.
Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas
5.
Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan
saling memuaskan
6.
Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di
kemudian hari.
7.
Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang
kreatif dan konstruktif
8.
Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
3.
Ciri-ciri orang yang sehat mental
Orang
yang sehat mental biasa di sebut individu yang normal. Yakni orang yang mampu
memperlihatkan kematangan emosional, kemampuan menerima realitas, kesenangan
hidup bersama orang lain, dan memiliki filsafat atau pegangan hidup pada saat
ia mengalami komplikasi kehidupan sehari-hari sebagai gangguan (Killander dalam
Wiramihardja, 2004:25). Secara lebih jelas ciri-ciri tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1.
Kematangan emosional.
Terdapat
tiga dasar emosi, yaitu cinta, takut, dan marah. Fungsi cinta ialah apabila
kita mencintai suatu hal yang membuat senang, takut kalu ada hal yang mengancam
rasa aman kit, dan marah kalau ada yang mengganggu atau menghambat jalan usaha
untuk mencapai apa yang kita inginkan. Dengan dimikian orang yang disebut
emosinya matang ialah orang yang memiliki dispilin diri, determinasi diri, dan
kemandirian. Seseorang yang memiliki dispilin diri dapat mengatur dirinya,
hidup teratur, mentaati hukum dan peraturan. Sedangkan orang yang memiliki
determinasi diri akan membuat keputusan sendiri dalam memecahkan masalah dan
melakukan apa yang telah diputuskan. Ia tidak mudah menyerah dan akan
menganggap masalah baru lebih sebagi tantangan daripada sebagai ancaman.
Sementara orang yang memiliki sikap kemandirian ialah orang yang mampu berdiri
di atas kaki sendiri. Artinya tidak bergantung pada orang lain.
Berkaitan dengan
pendapat di atas, Garious (dalam Najati, 2003:3) memberikan indikator tentang
kematangan emosional, sebagai berikut:
“Individu
disebut memiliki kematangan emosional apabila individu mampu menerima kenyataan
yang berkaitan dengan kemampuan dan potensi kepribadiannya, mampu menikmati
hubungan-hubungan sosialnya baik di dalam maupun di luar keluarga, mampu
bersikap positif terhadap kehidupan, sanggup menghadapi situasi yang tidak
diperkirakan, berani dan mampu mengemban tanggung jawab, teguh dan konsisten,
mampu mewujudkan keseimbangan dan keharmonisan di antara berbagai tuntutan
kebutuhan dan motivasi kehidupan, memiliki perhatian yang seimbang terhadap
berbagai macam kegiatan intelektual, kerja, hiburan, dan sosial, memiliki
pendangan hidup yang kuat dan integral”.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki kematangan emosional adalah orang
yang tidak banyak menggantungkan diri pada bimbingan dan kendali orang lain,
melainkan lebih mendasarkan diri pada kemampuan, kemauan dan kekuatannya
sendiri.
1. Kemampuan menerima
realitas.
Adanya perbedaan antara dorongan, keinginan, dan ambisi
di satu pihak, serta peluang dan kemampuan di pihak lainnya, adalah hal yang
bisa terjadi. Bagi orang yang memiliki kemampuan untuk menerima realitas sudah
pasti akan memperlihatkan perilaku yang
mencerminkan kemampuan dalam memecahkan masalah, yakni dengan segera menerima
tanggung jawab, menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bersifat terbuka dalam
menerima pengalaman dan gagasan baru, membuat tujuan-tujuan yang realistis,
serta melakukan yang terbaik sampai merasa puas atas hasil usahanya
tersebut.
2.
Hidup bersama dan bekerja sama dengan orang lain.
Yakni memiliki kemampuan dan kemauan untuk
mempertimbangkan minat dan keinginan orang lain dalam tindakan-tindakan
sosialnya, mampu menemukan dan memanfaatkan perbedaan-perbedaan pandangan
dengan orang lain, serta mempunyai tanggung jawab sosial serta merasa
bertanggung jawab terhadap nasib orang lain.
3.
Memiliki filsafat atau pegangan hidup.
Yang dimaksud dengan memiliki filsafat atau pegangan
hidup ialah memiliki pegangan hidup yang dapat senantiasa membimbingnya untuk
berada dalam jalan yang benar, terutama saat menghadapi atau dalam situasi
berada yang mengganggu atau membebani. Sehingga tidak terbawa oleh arus situasi
yang berkembang dilingkungan serta suasana hati yang bersifat sesaat.
4.
Sifat-sifat orang yang sehat mental
Setelah
memaparkan ciri-ciri orang yang sehat mental, maka perlu pula dijabarkan
mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh orang yang sehat secara mental. menurut
Coleman dan Broen (dalam Wiramihardja, 2004:23), sifat-sifat tersebut antara lain:
1.
Sikap terhadap diri sendiri yang positif (positif
attitude toward self)
menekankan
pada penerimaan diri, identitas diri yang adekuat, penghargaan yang realistik
terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain.
2.
Persepsi asalitas (perception of reality), yaitu suatu
pandangan realistik atas diri sendiri dan dunia, orang, serta benda-benda yang
yang nyata ada di lingkungannya.
3.
Keutuhan (integration), yaitu kesatuan dari kepribadian,
bebas dari ketidakmampuan menghadapi konflik dalam diri (inner conflict) dan
toleransi yang baik terhadap stres.
4.
Kompetensi, ialah adanya perkembangan kompetensi, baik
fisik intelektual, emosional, sosial untuk menanggulangi masalahmasalah
kehidupan. Kompetensi mengandung pengetahuan keterampilan, sikap dan perilaku
yang sesuai dan memadai.
5.
Otonomi, ialah keyakinan diri, rasa tanggung jawab, dan
pengaturan diri yang adekuat, bersama-sama dengan kemandirian yang memadai
menyangkut pengaruh sosial.
6.
Pertumbuhan atau aktualisasi diri, ialah menekankan pada
kecenderungan terhadap kematangan yang meningkat, perkembangan potensialitas,
dan kepuasan sebagai pribadi.
D.
PENGARUH PUASA DAN PNGENDALIAN DIRI DALAM PERSPEKTIF
KESEHATAN MENTAL
Manusia dalam pandangan Islam, tersusun dari dua unsur
yaitu jsmani dan rohani. Secara jasmaniah, tubuh manusia berasal dari materi
dan mempunyai kebutuhan hisab kebendaan. Sedangkan secara rohaniah, tubuh
manusia bersifat immaterial dan mempunyai kebutuhan spiritual. Jasmani manusia
menjadi mediator tempat bersarangnya hawa nafsu, sehingga terbawa kepada
kejahatan. Sementara rohani yang berasal dari unsur suci, maka akan selalu
mengajak pada kesucian.
Dalam Islam, manusia sangat memerlukan pelatihan rohani
dalam bentuk ritual ibadah. Tujuannya agar manusia selalu ingat kepa Sang
Pencipta-Nya, Allah swt dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Keadaan
yang senantiasa dekat pada Tuhan dapat mempertajam rasa kesucian yang
senantiasa menjadi rem bagi hawa nafsu manusia. Puasa merupakan suatu ibadah yang dapat
memberikan latihan dan pendidikan pada jasmani dan rohani manusia. Latihan ini
akan sangat nampak dalam aspek pengendalian diri dan hawa nafsu yang mengajak
kepada perilaku tidak terpuji.
Hal ini sesuai dengan konsep puasa yang digunakan oleh
Prof.Dr.Ardani (1995 : 252) yang menyebutkan bahwa orang yang berpuasa, menahan
nafsu makan, minum dan syahwat dalam jarak waktu yang telah ditentukan.
Disamping itu, ia juga harus menahan diri dari tingkah laku dan perbuatan yang
tercela. Menahan nafsu-nafsu tersebut merupakan latihan spiritual yang akan
mempertajam rasa kesucian dan rasa moral. Orang yang berpuasa dianjurkan untuk
banyak berbuat kebajikan, menyantuni fakir miskin, dan orang lemah lainnya.
Latihan jasmani dan rohani disini tampaknya terpadu menjadi satu usaha dalam
memelihara kesucian rohani, sehingga diharapkan melahirkan orang yang bertakwa.
Definisi diatas diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dalam Misbahal
al-syari’ah bahwa Rasulullah bersabda “Puasa adalah perisai”. Puasa melindungi
dari kejelekan duniawi dan siksa akhirat. Ketika hendak berpuasa, niatkanlah
puasa untuk menahan diri dari dorongan syahwat, dan memutuskan pikiran yang
sering dipengaruhi oleh godaan syaitan. Sucikan diri dari segala penyakit yang
ditimbulkan karena dosa, serta sucikanlah batin dari setiap hal yang bisa
membuat lalai dari berdzikir kepada Allah SWT.
Uraian diatas mengandung makna bahwa dengan puasa kita
dihindarkan dari makanan, minuman dan berbagai penyakit jasmaniah. Puasa juga
merupakan latihan untuk mengendalikan hawa nafsu dan sarana untuk menyembuhkan
berbagai penyakit. Pada saat berpuasa, kita dilatih untuk mengembangkan
kepribadian kita. Kita meninggalkan oral, anal, dan genital menuju tingkat rohaniah.
Periode oral kita kekang dengan tidak makan dan minum, kitapun mencoba untuk
meninggalkan tahap genital dengan mengendalikan nafsu syahwat. Kita berusaha
meninggalkan keterkaitan pada tubuh dan mulai memperhatikan rohani. Dengan kata
lain ketika berpuasa seseorang akan meninggalkan periode awal atau
keinginan-keinginan jasmani atau berupa kehendak dirinya sendiri untuk
menempatkan kehendak Allah yang lebih tinggi dari kehendak dirinya.
Substansi
dari orang yang berpuasa adalah membelokan keinginan yang bersifat egoisme
kepada tujuan yang baik dan berguna. dengan demikian puasa yang dilakukan
dengan mengedepankan usaha untuk mengendalikan setiap hawa nafsu, akan
memberikan ketenangan hidup seseorang. Ketenangan hidup ini akan berkaitan
dengan kesehatan mental. Karena dalam ketenangan, kondisi hidup seseorang
dengan keadaan rohani (pikiran, perasaan, dan kehendaknya) yang tidak gelisah,
tidak kacau, aman dan tentram atau mencapai keharmonisan dengan dirinya
sendiri, orng lain dan masyarakat.
Peranan
puasa dalam menciptakan kesehatan mental cukup besar, baik sebagai pegobatan
terhadap gangguan kejiwaan, sebagai pencegahan agar tidak terjadi gangguan
kejiwaan, maupun sebagai alat untuk kesehatan mental.
Dalam
ibadah puasa, kejujuran yang dituntut adalah jujur terhadap diri sendiri di
samping jujur kepada orang lain. Orang yang tahu persis apakah seseorang itu
berpuasa atau tidak, adalah dirinya sendiri. Orang lain dapat dibohonginya.
Sebab menelan air waktu berkumur-kumur sudah menyebabkan puasa itu batal,
walaupun tidak makan dan tidak minum.
Puasa juga
merupakan hubungan ruhani antara makhluk dehan khaliknya. Puasa
bertujuan agar manusia dekat dengan Allah swt shingga mendorong manusia untuk
berusaha dan tidak tergelincir serta terperosok ke dalam kegelisahan, tidak
tenang, galau, dan rasa bersalah. Adapun kesehatan mental adalah terhindarnya
seseorang dari gejala jiwa seperti cemas, konflik, gelisah, frustasi. Oleh
karena itu, hubungannya dengan ibadah puasa dengan kesehatan mental sangat erat,
karena ibadah mampu menyehatkan mental manusia.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
1.
Aspek-aspek pengendalian diri yang ada dalam ibadah puasa
adalah sebagai berikut:
a.
Puasa untuk meredam amarah atau kesehatan emosional
b.
Puasa melatih kesabaran
c.
Puasa meningkatkan kecerdasan emosional
d.
Puasa untuk membentuk kematangan diri (konsistensi dan
kejujuran)
2.
Pengaruh puasa dan pengendalian diri dalam perspektif
kesehatan mental
Peranan
puasa dalam menciptakan kesehatan mental cukup besar, baik sebagai pegobatan
terhadap gangguan kejiwaan, sebagai pencegahan agar tidak terjadi gangguan
kejiwaan, maupun sebagai alat untuk kesehatan mental.
Puasa
juga merupakan hubungan ruhani antara
makhluk dehan khaliknya. Puasa bertujuan agar manusia dekat dengan Allah swt
shingga mendorong manusia untuk berusaha dan tidak tergelincir serta terperosok
ke dalam kegelisahan, tidak tenang, galau, dan rasa bersalah. Adapun kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala jiwa seperti cemas, konflik,
gelisah, frustasi. Oleh karena itu, hubungannya dengan ibadah puasa dengan
kesehatan mental sangat erat, karena ibadah mampu menyehatkan mental manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Jejen
Musfah, Risalah Puasa, Menjadikan Bulan Ramadhan
Sebagai Bulan Penuh Pahala, (Yogyakarta : Hijrah, 2004),
H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Jakarta:
Attahiriyah, 1954)
Jalaludin Rakhmat, Madrasah Ruhaniah
Berguru pada Ilahi di Bulan Suci, (Bandung: Mizan Media Utama, 2005),
H.
Ubaidillah Saiful Akhyar, Dahsyatnya Terapi Puasa (Jakarta: Nakhlah Pustaka,
2007) hlm.21
Syekh Ali
Ahmad Al-Jujawi, Hikmah al-Tasyri Wa Falsafatuhu, terj, Hadi Mulyo, CV Asyifa,
Semarang 1992, Jilid I,
Zakiah
Drajat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989)
Darajat, Puasa meningkatkan Kesehatan
Mental
Utsman Ibn
Hasan Ibn Ahmad al-Syakir, Darroh al-Nashihin, Indonesia : Dar al-Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyyah, ttp,
Utsman al-syakir, Durroh al-Nashihin,
Darajat, Puasa Meningkatkan Kesehatan
Mental,
Moh.
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegaran IV, (Yogyakarta : Bina
Bhakti Waqaf, 1995)
Yusak
Burhanuddin. Kesehatan Mental,( Bandung: Pustaka Setia, 1998)
Sururin.
Op Cit
Dr.Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta:
Gunung Agung, 1983),
Hanna
Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Op.Cit,
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene
Mental dan Kesehatan Mental
Dalam Islam (Bandung:
Mandar Maju, 1989),
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa
Psiokologi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet 1, 2001)
Naana
Syaoid Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bndung: Remaja
Rosdakarya, 2003)
[1] Jejen Musfah, Risalah Puasa, Menjadikan Bulan Ramadhan Sebagai Bulan Penuh Pahala, (Yogyakarta : Hijrah, 2004), hlm.22
[2] H.
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah, 1954) hlm.216
[3] Jalaludin Rakhmat, Madrasah Ruhaniah Berguru pada Ilahi di Bulan Suci,
(Bandung: Mizan Media Utama, 2005), hlm.33
[4] H. Ubaidillah Saiful Akhyar, Dahsyatnya
Terapi Puasa (Jakarta: Nakhlah Pustaka, 2007) hlm.21
[5] Syekh Ali Ahmad Al-Jujawi, Hikmah
al-Tasyri Wa Falsafatuhu, terj, Hadi Mulyo, CV Asyifa, Semarang 1992, Jilid I,
hlm 185
[6] Ibid hal 186
[7] Ibid hlm 191
[8] Ibid., hlm 192
[9] Ibid., hlm 197
[11] Darajat, Puasa meningkatkan Kesehatan Mental, hal.30
[12] Utsman Ibn Hasan Ibn Ahmad al-Syakir,
Darroh al-Nashihin, Indonesia : Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, ttp, hal 13
[13] Darajat, Puasa Meningkatkan Kesehatan
Mental, hal.28
[14] Utsman al-syakir, Durroh al-Nashihin, hal 31
[16] Darajat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, hal 20
[17] Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme
Mangkunegaran IV, (Yogyakarta : Bina Bhakti Waqaf, 1995) hlm.287
[18] Yusak Burhanuddin. Kesehatan Mental,( Bandung:
Pustaka Setia, 1998),hlm.9
[19] Sururin. Op Cit ,
hal. 142
[20] Dr.Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm 13
[21] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi
Psikologi dengan Islam, Op.Cit, hlm 133
[22] Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm 7
[23] Ibid., hlm 8-10
[24] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psiokologi Islam (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, cet 1, 2001) hlm 133
[25] Naana Syaoid Sukmadinata, Landasan
Psikologi Proses Pendidikan (Bndung: Remaja Rosdakarya, 2003) hlm 148
[26] Ibid., hlm 149
[27] Dadang Hawari, hlm 12-13