Amour Platonique.
Aku tak pernah benar-benar percaya
cinta platonis itu memang ada. Bahkan, ketika aku sendiri bimbang dan
meragu apakah perasaan yang menelanjangiku tiap malam—setiap aku hendak
berangkat tidur—ini bisa dikategorikan ke dalam jenis yang Plato
sebutkan itu. Aku tetap tak percaya. Aku lebih memilih untuk bungkam dan
menolak untuk patuh. Telah lama kuhapus definisi-definisi filsafat tai
kucing yang mencoba mengatur apa yang harus dan tidak boleh dilakukan
dari kamus hidupku. Mungkin, tepatnya, sejak aku bertemu dan mulai dekat
dengan sosokmu.
Aku lupa mengapa aku pernah begitu
menyukai senja yang kaotik, menganggap duduk berdua di ujung dermaga
menyambut temaram jingga di ufuk barat sebagai hal paling romantis yang
dapat kukenang hingga rambutku memutih dan syaraf-syaraf otak perlahan
berhenti melakukan pekerjaannya. Aku lupa. Nyatanya, perkenalan dengan lelaki sepertimu mengajarkan hal yang sama sekali lain: bahwa hidup
dapat dimaknai dengan sebebas-bebasnya, tanpa harus percaya pada
kutipan-kutipan dan kearifan bijak bestari yang bahkan telah diucapkan
sebelum kakek dan nenek kita mengenal huruf dan kata.
Berkat
kamu, aku mengenal cara hidup yang jauh lebih intim dari itu. Setelah
ucapanmu, aku—daripada hanya sekedar menanti senja rubuh—lebih memilih
untuk terjaga sepanjang malam denganmu, berdua saja, hingga dini hari
tiba . Dalam kesadaran yang mulai
lindap, kita sering bercakap-cakap. Atau hanya saling diam. Atau
tertidur tanpa kita ingat siapa yang mendahului.
“Jika kita bisa menaiki perahu hingga ke tengah laut, kenapa kita hanya berdiam saja di dermaga?” ujarmu di satu kesempatan.
Aku tersenyum. Analogimu lucu.
“Ayolah.
Kau takkan cukup puas jika hanya memperoleh satu kalau kau bisa
mendapatkan dua, tiga, atau lebih. Ambil sedikit resiko. Horatius tak
pernah takut kalah bertaruh dan mati muda. Ia justru menyebut mereka
yang memiliki usia panjang adalah orang-orang sial.”
Aku
pun tertawa terbahak begitu kencangnya demi mendengar ucapanmu tanpa
tahu di kemudian hari pun aku menangis tak tertanggungkan karena hal
yang sama. Rupanya, aku tak bisa memperkirakan akibat yang dihasilkan
oleh keberanian yang bodoh, pertaruhan yang tolol.
***
Don't go far off, not even for a day, because --
because -- I don't know how to say it: a day is long
and I will be waiting for you, as in an empty station
when the trains are parked off somewhere else, asleep.
Suatu
kali, entah kenapa sepotong sajak berbicara lebih banyak dari motivator
di televisi. Aku merasa ditonjok begitu keras di bagian dagu. Rahangku
sakit dan mataku berkunang-kunang. Aku tak bisa berkata-kata saat
membaca sajak milik Neruda. Mungkin ini yang dinamakan kekalahan.
Aku
tahu tidak sepantasnya aku bahagia dan menanam asa. Seharusnya aku
ingat Shakespeare pernah berkata bahwa harapan adalah akar dari semua
sakit hati. Namun, sebenarnya aku tak sungguh-sungguh lupa. Aku hanya
tak ingin mengingat satu fakta yang pahitnya melebihi kopi dingin yang
biasa kita sesap pada dini hari. Fakta bahwa kita hanyalah sebuah konsep
semu. Konsep yang takkan bisa dibangun ketika kau dan dia masih
menjalin cinta, bersama. Aku hanya mencoba lari dari kenyataan bahwa
kita bukanlah siapa-siapa selepas subuh tiba.
Aku sadar bahwa
aku hanya perempuan yang menanggung luka. Sendiri. Aku—meski tak bisa
dibandingkan dengan Yesus yang rela disalib demi kemuliaan umatnya—tahu
bahwa ketika kau tak mampu memanggul dunia yang hampir jatuh di atas
kepalamu, akulah orang yang akan kautuju. Kenyataan ini membuatku
belajar: selalu ada saat-saat di mana manusia dihadapkan untuk memilih
antara idealisme yang mengganggu dengan realitas yang terkadang tak mau
tahu. Dan mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mengakui bahwa cinta
yang platonis itu sungguh nyata.
“Adakah penengah antara harapan yang tak kunjung redup dengan cinta yang terlalu?” tanyaku.
“Apa kau sungguh-sungguh pernah jatuh cinta?” aku tak yakin.
“Tentu pernah. Bahkan saat ini aku sedang mencintaimu” jawabmu mantap.
Senyum
genitmu pun hadir. Mata kecilmu memandangku lekat-lekat.
“Tenanglah, sayangku,” katamu lembut.
“Tak
ada kecemasan yang perlu dipelihara hingga menahun. Ia, meskipun
berkali-kali kau coba bunuh, akan selalu tumbuh. Sejarah kecemasan telah
ada setua umur peradaban manusia itu sendiri. Jika tidak, mana mungkin
Adam rela menghabiskan sisa hidupnya di bumi untuk mencari tulang
rusuknya yang terpisah?”
“Kau tak pernah menjadi aku,” aku mulai merajuk. Ada sedikit nada pesimis pada kalimat terakhirku.
“Apakah untuk tahu apa yang kau rasa, aku harus menyaru menjadi dirimu? Aku bahkan tak tahu harus berbuat apa”
Kudengar
intonasi dalam bicaramu mulai berubah naik. Kemudian, seperti biasa,
kau mulai mendongengkan kisah yang berkali-kali aku dengar darimu.
“Dyah Banuwati….” katamu memulai kisah basi yang membuatku muntab.
“Ia,
putri Prabu Salya yang sangat terkenal karena kecantikannya itu, adalah
garwa Prabu Duryudana. Siapapun tahu siapa Duryudana: Raja Kuru yang
mempunyai kuasa tiada batas. Pemimpin Hastinapura yang memiliki tahta
atas gading, emas, berlian, juga hasil alam yang tak terhingga. Namun
bukan berarti ia juga berkuasa atas hati manusia. Mungkin ia mampu
memiliki tubuh molek Banuwati, tetapi tidak dengan hatinya.”
Sebelum skenario usang kembali terulang, aku potong pembicaraanmu.
“Cukup.
Aku sudah khatam dengan cerita itu. Aku tahu terusannya. Bahwa hanya
Arjuna yang mampu mencuri jiwa kesepian Banuwati. Bahwa dalam
malam-malam sunyi selepas perang yang melelahkan, Banuwati menyusup ke
tenda milik Pandawa hanya untuk bercinta dengan Arjuna.
Aku
paham. Justru kamu yang tak paham bahwa pewayangan hanyalah
cerita fiksi. Hentikanlah lelucon yang tak lucu ini. Sudah untung aku
tak kerasukan Qabil yang tega membunuh Habil untuk memperoleh Iqlima,”
cecarku mengutip kisah putra-putri adam.
Hawa semakin
dingin. Toa-Toa masjid saling bersahutan mengumandangkan Adzan Subuh.
Sementara, kita tak pernah tau apa yang akan kita lakukan usai
perbincangan ini.
“Dari puluhan sajak yang kubaca, tak
pernah ada yang sanggup membayar sebuah kehilangan dengan harga yang
pantas,” tuturku lirih, mencoba menurunkan tensi.
“Hmm….”
“Kau
tentu tahu aku selalu bersedia mengalah. Selalu mengambil jarak dengan
perasaan. Aku tak mau kecewa saat pagi yang basah oleh embun kau kembali
pulang. Namun tetap saja ada yang lesap ketika aku bangun dan menemukan
kau tak ada lagi di sisiku.”
"Aku tidak pernah ingin berjudi tentang kebahagiaan" tukas ku
Kita kembali diam.
Membiarkan Adzan Subuh menelan keheningan yang menggigil. Mencoba untuk
melepas ragu yang masih tersisa di sela-sela kerumitan ini.
“Boleh aku bilang satu kalimat penutup?” tanyaku ragu
“Apa?”
“Sepertinya aku mencintaimu.
Kau tersenyum.
Kau tersenyum.
“Sayangnya aku punya tempat tuk kembali,” pungkasmu.
…
because in that moment you'll have gone so far
I'll wander mazily over all the earth, asking,
Will you come back? Will you leave me here, dying?
(Pablo Neruda – Don’t Go Far Off)