Perempuan
terus menerus dikekang dan dibuat tunduk oleh berbagai aturan dan kebijakan. Kekerasan
ini, baik yang sifatnya kultural maupun struktural, kemudian menjadi sumbu
kekerasan fisik dan represi. Dan salah satu faktor utamanya adalah tiadanya
kesadaran (ketaksadaran) gender di kalangan masyarakat. Menilik fakta dewasa
ini, perempuan dan kekerasan acapkali menyatu-padu ke dalam satu entitas, yakni
kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan yang dialami pun beragam, tidak hanya
secara fisik namun kekerasan secara psikis, seksual dan ekonomi. Penyakit
kronis ini seolah telah mengakar kuat dalam sumbu kebudayaan masyarakat,
terutama masyarakat yang menganut kebudayaan “machoisme”: menempatkan perempuan (oleh laki-laki) sebagai the second sex, bukan rekan setara. Kasus
seperti ini seperti mengumpulkan butiran salju yang nantinya akan menjadi
puncak gunung es dan meledak jika tanpa ada upaya atau penangan dini secara
serius dan tepat sasaran.
Ya,
publik tentu saja belum lupa bagaimana tragedi maut yang menimpa seorang bocah
perempuan berumur 14 tahun bernama Yuyun. Di samping tragedi ini sangat
mengejutkan dan menyita banyak perhatian publik, hal ini bisa menjadi
pembuktian kita bersama bahwa siapa pun dapat menjadi korban kekerasan seksual.
Tragedi ini bisa terjadi di mana saja, bahkan di tempat-tempat yang selama ini
kita anggap aman sekalipun.
Pertanyaannya,
bagaimana kesemua hal tersebut harus
kita respons?
Adalah
hal yang tak patut diulur-ulur lagi bahwa penyakit “mematikan” ini perlu
penangan serius lagi cepat. Bahwa tak ada upaya yang lebih efektif ketimbang
memahami akar persoalan yang jadi sebab utamanya. Meski ada banyak hal yang
mendasari lahirnya kekerasan terhadap perempuan ini, seperti kemiskinan,
gangguan kejiwaan, minimnya tingkat pendidikan, dan serta kebudayaan yang
melanggengkan budaya patriarki. Namun melepaskan pemahaman gender dari kasus
akut semacam ini hanya akan melahirkan bias penyelesaian masalah. Justru yang
timbul adalah sumber masalah baru, seperti framing penyalahan korban dan
pembenaran si pelaku atas diri korban—yang benar jadi salah, yang salah jadi
benar. Demikianlah fakta yang kerap kita jumpai di media-media.
Memberantas Ketaksadaran Gender
Tujuan
utama pendidikan adalah penyadaran. Sebagaimana Paulo Freire dalam Pendidikan
Kaum Tertindas-nya menegaskan, pendidikan tak lain sebagai upaya pembebasan
kesadaran atau dialogika. Sampai saat ini saya masih percaya bahwa kekerasan
terhadap perempuan lebih disebabkan oleh tiadanya kesadaran (ketaksadaran) atas
gender. Ketaksadaran ini terjadi, baik pada diri si perempuan sendiri ataupun
laki-laki pada khususnya, terutama masyarakat awam secara umum. Jadi, ini bukan
semata soal buasnya seorang manusia atas diri manusia lainnya. Bukan soal
adanya sikap kebinatangan dalam diri tiap-tiap manusia. Tetapi lebih jauh,
lagi-lagi meminjam pandangan Freire, penjajahan masa kini adalah penjajahan
kesadaran. Demikianlah maka upaya satu-satunya yang lebih efektif tak lain adalah
menggagas pendidikan berbasis kesetaraan gender.
Di
satu sisi, budaya patriarki memang masih sangat mendominasi pemikiran
masyarakat kita. Sebagian besar masih menganggap bahwa relasi kesadaran gender
adalah relasi yang sangat tabu. Membincangnya berarti membincang hal-hal yang
tak patut atau tak layak dijangkau oleh manusia dengan akalnya. Sebuah tradisi
masyarakat yang kolot, tradisi pemikiran yang masih dipenuhi
kesadaran-kesadaran mistis. Masih patutkah kita bicara soal batas ketika
realitas memaksa kita untuk menerobos hal-hal itu? Perempuan dibentuk,
dikonstruksi, dan dicitrakan berdasarkan selera laki-laki semata. Dan ketika
kekerasan terjadi pada diri si perempuan, yang kerap dituai adalah pembenaran
atasnya. Bahwa ini adalah bentuk pendidikan terhadap perempuan. Mestikah hal
ini didiamkan?
Jika kita kelompokan secara garis
besar maka masalah ketidakdilan gender diantaranya Subordinasi, Marjinalisasi,
Stereotip (Labeling), Double Burdens (beban
ganda) dan Kekerasan. Dari banyaknya persoalan yang dialami perempuan layaknya
puncak gunung es, maka lahirlah sebuah gerakan pembebasan atas perempuan yang
disebut dengan feminisme. Gerakan ini dibentuk sebagai manifesto ketidakadilan
gender. Feminisme pun terbagi menjadi beberapa aliran, diantaranya feminisme
liberal, feminisme Marxisme, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialisme, Feminisme
kontemporer dan Feminisme Muslim. Perlu kita sadari bahwa feminisme dan
kesetaraan gender adalah pemahaman mutlak untuk kita bangun secara
bersama-sama. Hal ini semata-mata harus kita tilik sebagai satu pembelajaran
mengingat ketidakadilan gender muncul disebabkan oleh banyak faktor diantaranya
penafsiran teks agama, kebijakan publik, budaya patriarkial, pendidikan dan
kapitalisme.
Gender, Sex dan Sexsualitas
Menilik
realitas hari ini, tak bisa dipungkiri memang bahwa banyak sebagian orang yang
tak paham tentang apa itu gender dan bagaimana konsep gender itu. Apalagi
ketika menganggap gender sebagai serupa dengan seks (jenis kelamin).
Penyalahartian semacam inilah yang marak mengundang beragam konflik, yang
hampir setiap hari kita jumpai dalam realitas kehidupan kita, baik di
lingkungan keluarga, sekolah, organisasi, bahkan Negara.
Menurut
pemahaman saya, gender adalah pandangan atau keyakinan yang sudah dikonstruk
oleh masyarakat mengenai relasi antara perempuan dan laki-laki yang bersifat
non-kodrati artinya masih bisa dipertukarkan. Relasi antara perempuan dan
laki-laki meliputi peran, sifat dan perilaku dan bersifat lokal. Misalnya,
pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, merawat diri,
lemah-lembut, atau keyakinan bahwa perempuan adalah mahluk yang sensitif,
emosional, selalu memakai perasaan. Sebaliknya, seorang laki-laki sering
dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumah-tangga, rasional, tegas,
dan sebagainya. Penghapusan atas pandangan inilah yang hendak dituju oleh
gerakan-gerakan gender. Pada hakikatnya, ciri dan sifat itu sendiri merupakan
hal yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat
emosional dan lemah lembut. Sebaliknya ada pula perempuan yang kuat, rasional
dan perkasa. Karenanya, gender dapat berubah dari individu ke individu yang
lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas sosial yang
satu ke kelas sosial yang lain.
Sedangkan
Sex adalah jenis kelamin secara biologis antara laki-laki dan perempuan yang
bersifat kodrati atau tidak bisa dipertukarkan yang merupakan pemberian Allah
SWT. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak berubah,
seperti perempuan memiliki vagina, payudara, rahim, ovum, mempunyai hormon
progesteron, estrogen dan clitoris. Secara fungsi minor perempuan bisa
menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui; sementara laki-laki memiliki
jakun, penis, dan sperma, testis, scrotum dan hormon testoteron yang sudah ada
sejak keberadaannya sendiri.
Sexsualitas
merupakan konsep yang luas meliputi beragam aspek yang meliputi birahi,
identitas seksual, orientasi seksual, ekspresi seksual, perilaku seksual dan
kesehatan seksual. Orientasi seksual berarti pilihan seksual, artinya setiap
individu berhak untuk memilih pilihan seksualnya. Orientasi seksual inilah yang
melahirkan keberagaman diantaranya lahir LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexsual,
Transgender, Interseks, Queer)
Sebuah Analisis
Apa
yang telah dipaparkan di atas, paling tidak memberi sedikit kejelasan bahwa
faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan, tak hanya lahir dari adanya
orang-orang konstruktif yang memandang perbedaan perempuan dan laki-laki dalam
porsi yang diskriminatif, tidak seimbang, melainkan juga pada
pengimplementasian kesadaran gender secara tidak proporsional lagi kritis. Di
sisi lain, ini juga disebabkan oleh adanya pemahaman ajaran agama tentang
kesetaraan manusia yang dipahami secara salah kaprah, yang dipengaruhi oleh
faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi patriarki yang sangat menguat
dalam kehidupan kebudayaan masyarakat.
Sebagai
solusi, pendidikan gender mesti menjadi proyek besar bersama kita. Entah dengan
jalan stuktural melalui pengimplementasian aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan
pemerintah terkait perempuan, kekerasan terhadap perempuan, atau keadilan
gender, maupun dengan jalan kultural atau pemahaman tradisi keagamaan yang
berbasis pada keadilan gender. Dengan begitu, optimisme kita akan keadilan bagi
semua tentu akan benar-benar terwujud. Hal ini jika pemahaman akan kesadaran
gender benar-benar kita jadikan sebagai panduan atau pedoman cara berpikir kita
dalam memahami bagaimana kekerasan terhadap perempuan semestinya kita tangani.
Dan cara ini, paling tidak mampu menjadi kunci bagi kita dalam mengakhiri
lingkaran kekerasan terhadap perempuan.
*Tulisan ini adalah hasil refleksi mengikuti Short Course Islam dan Gender, 23-26 Mei 2017
di Rumah Joglo Cirebon
No comments:
Post a Comment