Saat perasaan menafsirkan hasrat jiwa dan ku sibukan hati untuk menyimak
rahasia-rahasia kalbu. Jantungku berdegup kencang begitu melihat wajahnya.
Kembali aku terpukau bagaikan seorang
bayi yang menatap keajaiban dunia. Auranya menembus mataku, langkahnya menusuk
telingaku. Tangan cinta telah menyatukan jiwamu dan jiwaku. Karena cinta adalah
kekuasaan yang menciptakan hati, sedang hati tak mampu menciptakan cinta. Sayap
keceriaan kita rajut bersama hingga membawa kita menuju arah cahaya.
Kau seperti sumber mata air yang memancar dari
perut bumi di dataran rendah menjadi danau yang tenang, kemudian membiaskan
cahaya rembulan dan gugusan bintang. Kau seperti simphoni sabda alam yang lebih
segar dari bisikan-bisikan kehidupan, lebih pahit dari rintihan maut, lebih
lembut dari gemerisik sayap dan lebih dalam dari nyanyian ombak. Simphoni yang
berdenyut mengalun antara harapan dan putus asa, keyakinan dan keinginan yang
menyesap dalam jiwa. Kau laksana sihir
jiwa yang membuatku seperti setangkai bunga mekar di taman hati. Ternyata, hidup ini
ternyata lebih lemah dari maut, dan maut lebih lemah dari cinta.
Namun keindahan
itu hanya sesaat untuk ku reguk, kemudian menjadi bias yang tak mampu untuk ku rengkuh. Kau sihir jiwaku lagi seperti
singa betina yang kehilangan anaknya, atau dasar lautan yang digetarkan pusaran
angin puting beliung. Hanya lambaian keputusasaan yang mengoyak jiwa. Aku merasa
terempas dari puncak bukit yang tinggi ke jurang tanpa dasar. Kau menyengatku
seperti sengatan kalajengking. Sakit, perih dan luka.
Aku yang terlalu dalam mencintaimu atau kau yang terlalu pandai menyayatkan nyeri? Kegembiraanku yang
membara berganti banjir air mata. Aku diam bagaikan patung. Pandanganku jauh,
hambar dan kosong. Mereka melihatku bagaikan melihat korban yang terbujur kaku
di jalanan. Tapi, percayalah tuan, melupakanmu itu mudah, semudah kau balikan cinta menjadi dusta.