Kemana saja aku selama ini?
Aku yang merasa telah tercukupi dengan
aksara-aksara tentang eksistensi Tuhan, aku yang kerap beradu tipu dalam diksi
hasil buaian imajinasi atas nama fiksi, aku yang menenggelamkan pikiran
bersaama buih-buih percakapan seluas samudra, akhirnya harus merasa hilang di
hadapan Pramoedya Ananta Toer yang kamu hadirkan di depanku.
Dua Minggu terakhir, Aku telah menjadi perempuan
dengan sorot mata memecah gumpalan waktu. Jiwaku mengembara menuju masa lalu. Bukan
masa laluku. Aku pergi ke masa lalu yang tak pernah ku jumpai dalam lintasan
waktuku, dan aku berkenalan dengan beberapa orang yang namanya sudah cukup hangat
di telinga dan mataku sejak diriku mulai mengenal cinta monyet karena tuntutan
pubertas. Di masa kini, kamu lah yang telah benar-benar mengenalkanku pada
mereka.
Minke. Secara pribadi aku memang tak mengenalnya,
ku pastikan dia pun tentu tidak mengenalku bahkan melalui firasat angin
sekalipun. Kabarnya ia sedang didera cinta monyet pada seorang noni. Perkara cinta
monyet itu membuat hidupnya digentayangi oleh monyet-monyet yang dahulu pernah
mengatainya “monyet”
Monyet-monyet yang mengganggu hidupnya itu,
lagaknya seperti manusia biasa. Manusia tanpa pakaian. Dan pakaian entah
bagaimana teori awalnya telah berubah nama menjadi: adab.
Tentunya kita boleh saja memberi simpulan: pada
zaman teknologi layar sentuh ini, semakin bagus pakaian seseorang, semakin ‘apik’
adabnya.
Beberapa waktu lalu, aku pernah terkungkung dalam
satu ide gila. Aku adalah perempuan tulen, bersolek layaknya perempuan muda
yang dewasa, berupaya santun serta menjaga wicara, sampai ide gila itu muncul bahwa
aku ingin menjadi laki-laki. Tidak lama mungkin, hanya seminggu saja. Gejolak rasa
ingin tahu telah membuat pikiranku terbang menembus batas nalar. Aku tidak sedang
bosan menjadi perempuan, hanya penasaran tentang wujud diriku yang lain. Aku perempuan
dengan banyak sisi keperempuanan, namun belum pernah ada dalam sisi
kelaki-lakian dan aku sangat ingin tahu tentang hal apa yang akan sama dan atau
berbeda dalam sepucuk diri yang berbeda gender. Penasaran . itu saja.
Sampai...
Dua minggu terakhir, Minke, Nyai Ontosoroh, Bunda
dan Annelies, akhirnya berhasil membebaskanku darri kungkungan ide gila yang
menghantui. Aku diajak menyaksikan pergulatan antara kekuatan dan kelemahan. Dua
kubu berlawanan yang sejatiny sangat tipis perbedaannya. Rentan, namun gesit
seperti kilat. Aku turut pula menabuh debar saat mereka menabuh genderang
perlawanan, menabung kebencian, dan membuat pikiran berhasi; menghimpun rasa
kuat, namun sayang, sekejap mata berkedip, kekuatan itu terjungkir dan akhirnya
menjadi bentuk-bentuk kelemahan. Begitulah dunia dari masa ke masa.
Tetapi mereka membuatku belajar tentang kekuatan
yang meruntuhkan logika dalam ilmu. Aku juga menyesap bagaimana kelemahan mampu
menaklukan kekuatan.
Aku berdecak ketika melihat dengan mata hatiku
sendiri seorang perempuan pribumi, yang harga dirinya tak lebih mahal dari
kebeliaannya saat ditawarkan pada seorang pemuja birahi di negeri sebrang,
mengacungkan tangannya melawan kekuatan yang berlipat kali lebih besar dari
negeri yang memberinya makan.
Aku menyaksikan dengan rasa syahdu, bagaimana kelemahan
seorang perempuan yang bersikap kekanakan saat memenjara dan mengunci mati hati
seorang pemuda terpelajar yang dicintainya, hingga pemuda itu tak lagi sanggup
meminta dirinya untuk dibebaskan.
Aku hanyut dalam airmata seorang Bunda yang
memandikan anak laki-lakinya yang keras kepala dan sedang tersedu-sedu di
hadapannya saat akan dihantarkan menuju pelaminan.
Aku hanyut tanpa tenggelam. Aku hanyut menuju satu
muara. Lautan kelembutan. Itulah kelemahan yang mampu membuat kekuatan bertekuk
lutut. Begitu cara perempuan-perempuan dalam hidup minke menjunjung Bumi
Manusia.
Dan Bumi Manusia mereka itu telah membuat seorang perempuan sepertiku berhenti dari keinginan menjadi seorang laki-laki.
:: Untukmu, ku serukan satu yang menjadi
kesukaanmu: “Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan
orang lain”